Seri Dewi Ular 90-Tara Zagita Misteri Surat Setan Karya : Tara Zagita Sumber DJVU : Jisokam Editor : Jisokam Ebook oleh : Dewi KZ MISTERI SURAT SETAN Oleh Tara Zagita Serial Dewi Ular Gambar sampul oleh Fan Sardy Penerbit Sinar Matahari, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Ketika pak pos datang pada malam hari, maka itulah tanda datangnya salah satu dari sekian banyak korban yang menerima surat setan. Ia lenyap dari kamamva. Tinggal genangan darah yang menutupi semua lantai kamarnya. Audy tampil sebagai pembela manusia. Jelmaan dari Nyimas Kembangdara itu mencoba melawan si pengirim surat setan. Namun. ia hampir saja binasa di tangan lawannya. Kumala Dewi mengetahui rahasia surat setan itu setelah ia hampir hancur akibat pertarungannya dengan lawan yang tidak terlihat. Ternyata lawannya sangat tangguh dan menjadi ancaman keselamatan baginya. Zudhan Saka. si mata-mata dari kahyangan itulah yang menyelamatkan Kumala dan membeberkan rahasia surat setan. Mampukah Kumala menundukkan si pengirim surat setan itu jika ternyata ia adalah bibinya Athila Darapura yang terkenal dengan julukan Dayang Mantra?. Ikuti kisah pertarungan Kumala Dewi dengan pihak Dewa Kegelapan dalam episode kali ini. Seru dan menenggangkan. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 1 Tanpa sebab dan alasan yang jelas, tiba-tiba saja bulu kuduk Moina meremang tegang. Pori-pori tubuhnya yang kuning mulus menjadi berbintik-bintik karena merinding. Maka, sambil memandangi bayangan wajahnya di depan cermin rias, dahi Moina berkerut tipis. "Kenapa merinding, ya?!" gumamnya dalam hati. Moina membantah pendapatnya sendiri. Ia melirik jam beker di meja tulisnya. Hatinya menggumam lega setelah tahu malam baru menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Artinya, saat-saat seperti ini menurutnya bukan saat yang layak untuk datangnya sebuah misteri. Beberapa saat kemudian terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Terdengar pula suara klakson motor dalam keadaan mesin tetap hidup. Moina kembali berkerut dahi, mencoba mengenali suara motor itu. Suara klakson seperti itu dapat diartikan sebagai panggilan dari seorang teman yang ingin berkunjung ke rumahnya. Entah siapa yang dipanggil oleh sang teman. Mungkin dia sendiri, mungkin juga salah satu dari kedua adiknya: Desty atau Fahrel. "Deesss...! Reeel...! Siapa tuh yang datang?!" seru mamanya dari lantai atas. Tapi agaknya Desty dan Fahrel tidak ada yang keluar dari kamar masing-masing untuk menyambut sang tamu. Karena suara klakson berbunyi lagi, mau tak mau Moina sendiri yang keluar ke teras untuk melihat siapa yang datang malam itu. " Hmmm .....?!" Moina makin berkerut dahi. Heran. Malam-malam begini ada tukang pos datang. Mau mengantarkan surat atau mau menanyakan sesuatu, pikir Moina dalam keraguannya untuk melangkah ke pintu pagar. Tapi karena tukang pos berseragam dengan wama motor khas kendaraan Pos dan Giro, maka Moina pun bergegas mengliampirinya. "Tumben malam-malam masih tugas, Pak?" Pak Pos hanya menggumam pelan sekali, tanpa senyuman sedikit pun ketika ia menyerahkan sepucuk surat pada Moina. "Kenapa nggak besok siang aja nganternya?" seraya Moina mencoba membaca si pengirim surat. Namun, ia tak mendengar suara Pak Pos menjawab sepatah kata pun. Ia mencoba menatap Pak Pos, temyata Pak Pos juga menatapnya. Dingin. Tatapannya kosong. Bulu kuduk Moina merinding kembali. "Hmm, eeh, makasih, Pak..." Moina buru-buru meninggalkan pagar rumahnya, bergegas masuk ke dalam. Menutup pintu cepat-cepat. Lalu, mengintip dari celah gordyn dinding kaca. "Ooh, ke mana orang itu?!" Mata pun terbelalak tegang. Pak Pos sudah tidak ada. Mestinya orang itu masih tampak dari tempat Moina mengintip walaupun pergi dengan mengendarai motor. Tak mungkin secepat kilat Pak Pos bisa melintasi tikungan jalan dan menghilang di sana. "Aah, mungkin dia memang jago ngebut! Ngapain harus gue pikirin yang begituan," gumam hati Moina. Ia berusaha menghindari debar-debar kecurigaan yang dapat menyiksa batinnya jika dibiarkan berlarut-larut. "Siapa yang datang tadi, Moi?" tanya Desty yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menyangka teman kampusnya yang tadi datang . "Kok malam-malam begini ada yang anterin surat sih?" Desty bernada heran setelah tahu kakaknya memperhatikan surat tersebut. "Nggak tahu tuh. Tapi, pengirimnya kok nggak jelas ya?" "Surat buat siapa?" Fahrel menyahut dengan pertanyaan begitu ia keluar dari ruang dapur. "Buat gue." Setelah menjawab begitu Moina pun bergegas masuk ke kamarnya. Kamar itu tidak jauh dari ruang tamu. Jendelanya menghadap ke halaman depan. Nama dan alamat yang dituju sangat jelas. Moina orang yang dituju. Tapi pengirimnya tidak jelas. Hanya sebuah nama yang terdapat di bagian pengirim surat, yaitu: Lexian. Tak ada alamat atau kode pos si pengirim. Sementara nama itu buat Moina sangat asing. Ia tak punya teman atau saudara yang bernama Lexian. Sempat curiga, jangan-jangan surat itu bukan untuknya. Tapi melihat alamatnya jelas alamat rumahnya, berarti surat itu memang ditujukan untuknya. Moina membuka surat itu dan membacanya. Temyata isinya cukup pendek dan aneh bagi siapapun yang membacanya. "Sobatku yang tercinta ..... Aku ingin kau hidup dengan kebahagiaan abadi, penuh sukacita dan kepuasan pribadi. Jika kau ingin hidup dengan kebahagiaan abadi, kepuasan pribadi yang selamanya, maka bacalah mantera ini: shakana marabhun shakanamahozin dhawoo'. Tunggulah saatnya untuk hidup bahagia.. LEXIAN" Sekali lagi dahi Moina berkerut. Kali ini lebih tajam lagi kerutannya. Dalam hatinya bertanya-tanya, apa maksud isi surat itu. Mo|na segera memanggil Desty dari pintu kamarnya. "Des, lu kenal dengan orang yang namanya Lexian?" "Cewek apa cowok?" "Nggak tahu. Gue dapat surat dari Lexian, isinya aneh banget. Soal mantera. Tapi gue nggak punya kenalan Lexian." "Temannya Fahrel kali. Tanyain aja ama dia." Moina memanggii adiknya yang masih SMU. Tapi Fahrel bersumpah-sumpah tidak punya teman yang bernama Lexian . "Orang iseng aja kali tuh. Udah, nggak usah digubris! Buang aja tuh surat kalo nggak bener isinya," kata Fahrel sambil menaiki tanggake lantai atas, karena kamarnya ada di lantai atas. Bersebelahan dengan kamar mamanya yang sudah janda. Moina sependapat dengan Fahrel. Surat dilemparkan di meja tulis. Tak ingin dibacanya lagi. Rasa dongkol masih membekas di hati. Apa maksudnya orang menulis surat iseng seperti itu padanya. Rasa dongkol itu berkembang menjadi rasa penasaran. Akibatnya surat itu tak dapat dilupakan begitu saja. Selalu diperdebatkan dalam hati. Mengganggu ketenangan batinnya. Akhirnya, surat itu dibacanya kembali. "Lho...?!" mulut Moina terperangah. Dahinya mengkerutlagi. "Kok nggak ada tulisannya?! Tadi jelas-jelas ditulis dengan tinta hitam, menggunakan tulisan tangan yang rapi banget. Sekarang kok...? Kok tulisannya nggak ada sih? Ya, ampuun... bekasnya juga nggak ada?! Apa gue salah ambil kertas, ya?!" Tidak. Moina tidak salah ambil kertas. Kertas warna putih tak bergaris itu memang kertas surat yang tadi. Hanya saja, sekarang di kertas itu tidak terdapat setitik tintapun. Tidak ada tulisan tangan bergaya miring rapi dan bagus seperti tadi. Bahkan pada amplop surat pun tidak ada tulisan apa-apa. Putih. Kosong. "Iihh... bulu kuduk gue jadi merinding kuat banget nih...?! Detak jantung gue juga... kok jadi kayak gini s ih? Kayak habis lari jauh? Duh, ada apa nih? Perasaanku jadi nggak enak." Moina keluar membuka pintu kamar dan memanggil Desty. Suara panggilan bernada tegang dan berkali-kali itu membuat Desty dengan cemberut dongkol terpaksa keluar dari kamarnya, namun tak mau menghampiri kakaknya. "Apaan sih, teriak-teriak?!" "Des, lihat sini... surat yang tadi gue terima sekarang nggak ada tulisannya. Kosong! Nih, lihat...! Sini, lihat...!" sambil Moina menenteng kertas surat, diangkat sebatas keningnya. Namun agaknya hal itu tidak menarik buat Desty, sehingga gadis bermata bundar itu mendesah dan masuk ke kamarnya kembali. Menutup pintu kamarnya. "Huuhh...! Kirain ada apaan?!" gerutu Desty setelah berada di dalam kamarnya sendiri. Ia sama sekali tak tertarik dengan keanehan yang disebutkan kakaknya. Gadis berbadan langsing dengan rambut pendek sebatas tengkuk itu kembali menekuni buku diktatnya. Ia fokuskan kembali konsentrasinya pada mata kuliah yang sedang dipelajari dengan tekun itu. Namun, belum sampai lima menit, konsentrasi belajarnya sudah mulai terganggu lagi. Ia mendengar suara teriakan Moina yang cukup keras. "Aaaauuh...!! Desss...! Destyyy...! Fahreeell...! Aaaauuuh...!!" Desty mendesah makin kesal. "Huuhh ...!! Udah gila apa tuh orang, ya?! Syaraf kali dia!" Hati disabarkan untuk tidak membuat reaksi. Tenang. sesaat, namun segera terdengar lagi suara Moina yang menjerit lebih keras. "Mamaaaaaaa...!! Aaaauuuuwww...!!" Terdengar suara gaduh samar-samar. Suara itu datang dari kamar Moina, Desty masih ragu, apakah benar ada sesuatu yang tak beres di kamar kakaknya, atau hanya keisengan yang semakin menggila?. Tapi tak lama kemudian terdengar suara gaduh lagi. Kali ini suara gaduh terdengar datang dari lantai atas dan tangga penghubung lantai. Sepertinya suara langkah kaki Fahrel berlari terburu-buru. Desty pun segera bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu kamarnya. "Ada apa,Rel?!" "Suara Kak Moi...!!" wajah Fahrel tegang. Sepertinya ia yakin betul bahwa suara teriakan kakaknya itu bukan suatu keisengan buat 'ngeijain' adik- adiknya. Saat itu juga Desty berubah sikap dengan cepat, menjadi tegang dan serius menanggapi teriakan Moina. "Kak Moi, ada apa??!" sera Fahrel sambil mencoba membuka pintu kamar Moina tapi pintu itu terkunci. Fahrel menggedornya berkali-kali. "Kaaaak...! Kak Moi...!" Desty ikut menggedor pintu dengan tingkat ketegangan makin tinggi. "Moiiii...! Moi, buka pintunyaaaa...!! Moooii...!" Mamanya yang berusia 62 tahun itu menuruni tangga dengan hati-hati. Wajah tua sang mama tampak menyimpan keeemasan yang sangat menegangkan. Sepertinya naluri seorang ibu telah menangkap adanya tanda-tanda buruk yang teijadi pada diri anak sulungnya itu. "Dobrak saja,Rel! Dobrak pintunya!"perintah sang mama yang berbadan tergolong gemuk itu. "Susah, Maa...! Dikunci dari dalam!" seru Desty. "Makanya dobraaak... !! Mama bilang dobrak ya dobraaak...!!" sang mama semakin beremosi. Fahrel yang berbadan atletis dengan tinggi 171 centimeter itu mengambil ancang-ancang mundur. Ia akan menerjangkan badannya yang kekar ke pintu. Tapi ketika itu terpikirkan oleh mereka munculnya suasana sepi. Tak ada teriakan Moina. Tak terdengar suara gaduh seperti perabot porakporanda. Sepi dan hening. "Tunggu dulu," cegah Desty merentangkan tangannya. Niat Fahrel untul berlari menerjang pintu tertahan seketika. "Tunggu apa?!" hardik mamanya. "Moi nggak teriak-teriak lagi, Ma. Kita pasti dikeijaindia!" "Dikeijain gimana sih kamu ini?! Teriakan Moi benar-benar serius!" Di saat Desty berdebat dengan mamanya, Fahrel terperanjat melihat ada kilatan cahaya terang yang bias sinarnya tampak dari sela-sela bawah pintu. Cahaya itu berwarna merah terang. Seperti s inar fotocopy yang . melintas dengan cepat, bolak-balik dua kali. "Lihat, sinar apa itu, Maaa...!!" Masih sempat mata Desty dan mamanya tertuju ke bawah pintu, dan mereka melihat kilatan cahaya merah terang dalam sekelebatan. Tanpa disadari pada saat itu sekujur tubuh mereka merinding kuat secara bersamaan. Seperti ada segenggam pasir ditaburkan mengenai tubuh mereka. Weeerrrhh.... !! Meski pun cahaya sekilas telah padam, namun rasa takut semakin mencekam hati mereka. Debar-debar jantung bertambah kuat. Perasaan aneh itu membiiat mereka akhimya saling tertegun, saling pandang, dan saling kebingungan beberapa saat. Sang mama lebih dulu keluar dari cekaman perasaan aneh itu dengan berseru memanggil pelayan lelakinya. "Aliii...! Aliii...! Ke sini sebentar ! " Fahrel dan Desty sama-sama tidak tahu mengapa mama mereka memanggil Ali yang badannya kurus dan tenaganya tidak terlalu kuat. Maka, Fahrel segera melanjutkan niatnya untuk melompat menerjang pintu. Namun, kali ini justru tangan mamanya yang mencegah tindakan tersebut dengan mencengkeram pundaknya. "Tahan dulu!" "Ali nggak akan kuat mendobrak pintu kamar Kak Moi, Ma." "lya, iya... tapi... tapi jauhi kamar itu! Desty, kamu ke sini! Jangan dekati kamar Moina!" Desty menurut dengan hati semakin terheran-heran dan ketegangan kian bertambah. Fahrel pun ditarik mundur dan berdekatan dengan Desty. "Kenapa...?!" Desty bertanya pada mamanya, namun kalimat tanya itu tak sanggup dilengkapi. Lidahnya menjadi kaku akibat diliputi rasa takut yang membingungkan pikirannya sendiri. "Mama curiga, ada bahaya di balik pintu kamar Moi.." ujar sang mama sambil menahan air mata. Ia ingin menangis. Hatinya sudah dicekam kesedihan lebih dulu. Ali pun datang dengan kaki dan tangan masih basah air sabun. Ia habis mencuci pakaiannya di kamar mandi belakang. "Saya di panggil, Nyonya?" "Dobrak pintu kamarnya Non Moina! Dobrak sekarang juga!" "Ba... baik, Nyonya," jawab Ali dengan bingung dan raguragu. "Tapi... tapi dari pada didobrak, lebih baik dibuka handel pintunya. Selain kerusakannya nggak seberapa, tenaga saya pun eukup mampu untuk melakukannya, ketimbang saya haras mendobraknya, Nyonya." " Ya, sudah lakukan! Lakukan apa saja, asal pintu itu terbuka!" Ali baru saja mau pergi mengambil perkakas tukang, tibatiba mereka mendengar suara kecil, seperti kunci dibuka. Klleek...! Semua mata tertuju pada pintu kamar Moina. Pintu itu bergerak pelan-pelan. Terbuka sedikit. Sekitar 5 centimeter. Lalu, berhenti tak bergerak lagi. "Terbuka sendiri?!" Fahrel mendesis tegang. Namun, ketika ia hendak maju menuju ke pintu, mamanya kembali mencekal lengan, menghalangi maksud langkah kakinya. "Ali , coba periksa kamar itu!" "Ma, kenapa harus Ali, aku kan..." "Hati mama semakin merasa nggak enak, Rel. Ooh, nggak tahu, tumben perasaan mama jadi ketakutan begini. Biarkan Ali yang memeriksa!" Pemuda berusia sekitar 23 tahun yang berperawakan kurus dan berpenampilan lugu itu melangkah dengan hati-hati mendekati kamar Moina. Ia juga dihinggapi perasaan takut akibat terpengaruh suasana tegang sang majikan dan kedua anaknya itu. "Ada apa sebenarnya?!" pikirAli. "Aduuuh, aku jadi gemetaran banget, kayak mau ketemu setan aja?!" Ali mendorong pintu kamar pelan-pelan. Dadanya bergemuruh karena denyut jantung yang menyentak- nyentak kuat dan cepat. Pelan-pelan sekali pintu terbuka makin lebar. "Hahh...?!" Ali terpekik kaget, melompat mundur dengan wajah menjadi pucat. Pekikan dan gerakan reflek itu membuat Desty, Fahrel dan mamanya ikut tersentak kaget dan berlari menjauh. "Ada apa, Li...?! Ada apa, hah?! Ngomong! Ada apa?!" desak Desty yang dikuasai oteh perasaan paniknya. "Da... da... darah..." "Apa...? Da... darah?!" suara Fahrel menyentak. "Darah siapa?! hey...., darah apaan?! Bicara yang jelas, Li! Darah siapa maksudmu?!" desak mamanya. Tanpa setahu mereka Fahrel telah nekat mcnghampiri pintu kamar Moina, lalu membuka pintu lebar-lebar. Seketika itu pula terdengar suara Fahrel terpekik keras-keras. Desty dan mamanya ikut memandang ke arah kamar tersebut dan menjerit dengan keras, dilanjutkan dengan tangis yang membaur dalam kepanikan. Suasana di dalam kamar itu sungguh mengerikan. Semua perabot atau barang apapun yang semula ada di dalam kamar itu, kini lenyap tanpa tertinggal sepotong kayu pun. Tak ada sesobek kertas pun yang tersisa. Jam dinding, poster, TV, meja, dan yang lainnya telah hilang dari tempatnya. Dan, Moinapun tak ada di dalam kamar tersebut. Moina ikut lenyap tanpa sehelai rambut yangtersisa. Di dalam kamar yang kosong itu hanya terdapat genangan darah segar. Darah itu menggenang menutupi semua lantai kamar. Sebagian ada yang memercik pada dinding, bak lukisan abstrak yang menyeramkan. Satu-satunya benda yang tersisa di kamar itu adalah lampu bohlam yang menempel pada langit-langit kamar. Masih menyala seperti biasa. Jerit tangis keluarga Moina membuat rumah itu dalam waktu singkat dipadati para tetangga. Beberapa tetangga dekat mereka ikut menangis dan diliputi ketakutan setelah melihat kamar Moina digenangi darah sebanyak itu. Semua yang menyaksikan kengerian tersebut saling bergidik merinding dengan jantung berdetak-detak cepat. Mereka ikut mencari Moina di luar rumah, namun tidak satu pun menemukan jejak atau tanda-tanda yang dapat dijadikan petunjuk ke mana perginya Moina. Jendela tetap terkunci rapat, eternit tetap utuh, lubang angin tak ada yang jebol, dan tampaknya lantai pun tak ada yang amblas ke dasar bumi. Lalu, ke mana perginya Moina? Darah siapa yang menggenang di lantai kamarnya? "Misterius sekali kejadian ini," ujar salah seorang tetangga yang sering dipanggil Mama Eka. "Desty bilang, mula-mula Moina terima surat dari seseorang yang tidak dikenal. Is i surat itu, katanya, sangat aneh. Ada manteranya. Terus, tulisannya hilang, dan... tahu-tahu Desty mendengar kakaknya menjerit-jerit, suara gaduh, sampai akhirnya... seperti sekarang ini," tutur Pak Rusman, tetangga seberang rumah. "Coba telepon Kumala Dewi!" usul Tante Gessy yang tinggalnya,di ujung jalan, tiga rumah dari tempat tinggal Moina. "Siapa itu Kumala Dewi?" tanya Mama Eka. "Kenalan saya. Dia paranormal cantik. Masih muda. Tapi, ilmunya tinggi. Dia bisa masuk ke alam gaib. Bisa mengenali tanda-tanda gangguan roh jahat dari mana pun. Dengardengar dia anak dewa...." Sebagian orang ada yang mempercayai kata-kata Tante Gessy, sebagian lagi menganggap semua itu hanya omong kosong belaka. Namun bagi Tante Gessy, tentu saja kehebatan Kumala Dewi bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. Kemampuan gadis cantik jelita itu memang nyata, karena Tante Gessy pemah mendapat pertolongan dari Kumala ketika ia kehilangan Hilmon, kekasih gelapnya, yang nyaris menjadi korban keganasan Nyai Sekatpitu, yaitu utusan dari pihak Dewa Kegelapan, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "ANCAMAN IBLIS BETINA"). Kasak-kusuk para tetangga mulai santer. Semakin banyak yang ingin tahu seperti apa kehebatan gadis cantik yang bemama Kumala Dewi itu. Atas persetujuan Desty, mereka sepakat memanggil Kumala Dewi untuk datang malam itu juga. Mereka ingin bukti, apakah Kumala Dewi dapat mengembalikan Moina yang raib secara misterius itu? Atau setidaknya, dapatkah gadis yang katanya baru berusia 26 tahun, dan memiliki kesaktian seperti dewa, mampu mengungkap tabir misteri di balik hilangnya Moina yang sangat menggemparkan itu? Namun, rencana itu tertahan oleh pernyataan Afen, sepupunya Desty. Mamanya Desty mempunyai seorang kakak yang sekarang su'dah meninggal. Kakaknya itu mempunyai empat orang anak, yang ncmor tiga adalah Afen. Praktis kedudukan Afen lebih dihormati karena dia termasuk kakak dari Moina, Desty dan Fahrel. "Biar nanti teman saya saja yang menangani kasus ini! Kita nggak perlu minta bantuan siapa-siapa. Teman saya memiliki kemampuan supranatural yang sangat tinggi, dan pasti sanggup menemukan Moina." Tante Gessy tersinggung dengan kesanggupan Afen. "Sok tahu anak itu!" geramnya ketus saat berhadapan dengan Mama Eka. "Siapa sih orang yang jadi andalannya itu?! Belum tahu dia kalau Kumala Dewi itu disegani oleh paranormal di mana-mana karena tingkat kehebatan ilmu gaibnya sangat tinggi?!" Sempat terdengar oleh Mama Eka dan beberapa tetangga lainnya saat Afen bicara dengan orang yang diteleponnya itu. "Tolong kamu datang kemari dong sayang ... Yang jadi korban sepupuku sendiri nih ... !" Maka, hati merekapun bertanya-tanya , siapa orang yang menjadi andalan Afen sebenarnya ? Benarkah ia mempunyai kemampuan seperti yang dikatakan pria lajang yang dulu berusia 30 tahun . 0o-dw-kz-234-o0 2 Lelaki kurus berpeci hitam nekat mendatangi rumah indah berpagar besi warna hijau. Dilihat dari penampilannya yang sangat sederhana; kemeja dan celananya yang bukan bermerek, serta kedatangannya yang bukan turun dari mobil pribadi melainkan turun dari sebuah ojek, maka dapat dipastikan ia bukanlah orang berada. Cahaya terang dari pancaran sinar bulan purnama telah membuat bapak berusia sekitar 60 tahun itu dapat dengan mudah menemukan rumah yang dituju. Dengan berbekal sesobek kertas, catatan tentang alamat rumah tersebut dan ciri-ciri sekitarnya, lelaki berkemeja batik usang itu menekan bel tamu yang ada di pintu pagar. Ia tak peduli saat itu waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Seorang pemuda berperawakan sedang, berambut kucai, dan hanya mengenakan celana sedengkul dengan kaos oblong longgar, akhirnya keluar dari rumah indah itu. Menghampiri bapak beruban lipis yang mununggu di balik pintu pagar. "Ada apa, Pak?" "Saya mau bertemu dengan Nona Kumala Dewi. Saya mau minta tolong karena...." "Yaah, kagak bisa malem ini, Pak. Bcsok aja ke sini lagi!" "Aduuuh, persoalan saya ini sangat gawat, Mas. Saya harus di tolong sekarang juga." "Nggak bisa. Saat ini kami libur, nggak terima tamu dan nggak bisa diganggu oleh siapa pun!" si pemuda berambut kucai mulai sedikit kesal. "Sebentar saja, Mas. Saya cuma butuh petunjuknya supaya..." "Nggak bisa, nggak bisa...! Kami nggak terima tamu. Ini malam bulan purnama. Kami libur total. Ngerti, Pak?" "Yaaah .... gimana dong..." "Terserah Bapak mau bilang apa, tapi itu sudah menjadi keputusan mutlak dari Kumala Dewi. Silakan Bapak pulang dulu, besok pagi-pagi sekali datang ke mari, pasti akan kami terima dengan senang hati. Okey...?" "Hmm, eeh... tunggu dulu, Mas. Hmm, bagaimana kalau cuma lima menit saja, Mas. Lima menit kan nggak lama. Saya rasa..." "Bapak jangan bikin saya jengkel, ya?!" sahutnya dengan nada makin ketus. "Saya sudah kasih tahu yang sebenarnya, Bapak jangan maksa terus. Saya bisa marah, tahu?!" Hardikan tak seberapa keras telah membuat mulut bapak itu seperti terkunci persendian rahangnya. Ternganga namun sulit digerakkan. Tatapan mata pemuda berambut kucai itu membuat si bapak merasa sesak napas. Dadanya seperti di himpit dengan benda berat. Bahkan untuk menelan ludah pun sulit ia lakukan. Hardikan tadi seperti mengalirkan gelombang suara aneh yang mampu melumpuhkan nyali, menundukkan kekerasan hati, dan mematikan seluruh akal pikiran yang ada. Gelombang suara yang bernada menggertak tadi bukan gelombang suara biasa. Memang memiliki aliran gelombang gaib yang dapat melumpuhkan kekerasan hati seseorang, mampu menguasai jiwa seseorang, selama orang itu adalah orang awam dan polos tanpa kekuatan gaib apapun. Kekuatan pengaruh gaib seperti itu sering digunakan untuk mengatasi orang yang suka ngotot dan sulit diajak kompromi. Dan, tentu saja pemuda berambut kucai itu memiliki kekuatan seperti itu, karena dia sebenarnya adalah jelmaan dari Jin Layon, yang pernah ditaklukkan Dewi Ular, lalu mengabdikan diri pada kehidupan sang dewi. Pemuda itu tak lain adalah Buron, yang kini menjadi asistennya Kumala Dewi khusus untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia mistik. Wajah tua itu mengibakan hati. Buron melepaskan pengaruh gaibnya yang terpancar lewat pandangan mata, juga melalui gelombang suaranya tadi. Bapak berpeci hitam kini terengah-engah, seperti habis terlepas dari jeratan yang mempersempit saluran pemapasannya. "Udah, Bapak pulang saja. Besok pagi boleh datang kemari." Si bapak diam saja. Tertegun kecewa Membiarkan ditinggal pergi s i penerima tamu. Namun, hati kecilnya tetap bersikeras untuk bisa bertemu Kumala Dewi malam itu juga. Oleh karenanya, kakinya belum mau melangkah pergi dari depan pintu gerbang tersebut. Ia bahkan menekan bel kembali setelah Buron masuk kedalam rumah. "Siapa sih di luar itu, Ron?!" "Brengsek juga tuh bapak!" "Siapa?!" tanya Sandhi, sopirnya Kumala. "Nggak tahu. Dia ngotot minta ketemu Kumala." "Kasih tahu dong kalau Kumala nggak bisa terima tamu selama malam bulan purnama bcgini." "Udah!" Buron menyentak kesal. "Gue udah jelasin! Tapi kayaknya dia memang bandel. Nggak ngerti-ngerti apa yang gue omongin!" Bel berbunyi lagi. Meresahkan dan mengganggu ketenangan. "Ngepet juga tuh orang...!" geram Buron, lalu melangkah menuju teras, ingin menemui orang itu lagi. Sandhi yang sudah lama tinggal bersama Buron, mengetahui gelagat buruk bakal terjadi jika Buron menemui tamu tersebut. Kemarahan Buron bisa membuat titisan Jin Layon itu menampakkan sosok aslinya, atau merubah wujud menjadi makhluk yang sangat mengerikan dan menakutkan. Dan hal itu bisa membuat sang tamu kehilangan detak jantung akibat menahan rasa takut yang luar biasa. Maka, sebelum segalanya teijadi dengan menyedihkan, Sandhi segera mengambil alili masalah itu. "Udah biar gue aja yang kasih penjelasan sama orang itu!" "Sanaaa...!" ujarnya dengan bersungut-sungut kesal, tak jadi melangkah ke tcras. "Lu kasar sih kalau sama tamu, jadi penjelasan lu sulit dipahami!" Sandhi bicara dengan bapak tua itu lebih ramah dibandingkan Buron tadi. Bahkan untuk memberi kesan baik dan penuh rasa hormat, sang tamu dibawanya masuk. Dipersilakan duduk di teras yang memiliki empat kursi tamu sederhana, namun cukup elegan dan nyaman. "Lho, sepatunya dipake aja, Pak. Nggak usah dilepas. Kayak masuk ke mana aja pake lepas sepatu..." "Nggak apa-apa, sayang lantainya... nanti kotor,. karena sepatu saya tadi nginjak tempat becek...," kata si bapak berusaha untuk sesopan rnungkin. Memposisikan diri serendah mungkin di rumah yang menurutnya cukup mewah itu. "Bapak dari mana?" "Saya tinggal di daerah Tangerang, Mas. Saya datang kemari mau minta bantuan Non Kumala Dewi yang katanya..." "Bapak tahu alamat sini dari s iapa?" potong Sandhi. "Dari... Ibu Shalimah." Sandhi berkerut dahi scbentar. Mengingat-ingat nama Shalimah. "Maksudnya... Ibu Shalimah yang jadi kepala sekolah di SMP..." "Iya, iya...! Benar! Wah, rupanya Mas kenal juga sama beliau, ya?" sambil tersenyum bangga. Lalu, katanya lagi, "Kalau Bu Shalimah kepala sekolah, naah... saya penjaga sekolahnya. Saya sudah dua puluh tahun lebih menjadi penjaga sekolah di s itu." "Ooo, ya, ya, ya... Maaf, saya lupa memperkenalkan diri, saya Sandhi, asistennya Non Kumala sckaligus sopir beliau." "Ooo, Mas Sandhi... kalau saya; Dalman. Tapi lebih seringdipanggil murid-murid: Pak Maman." Sandhi menilai tamunya sebagai orang yang lugu dan sopan. Tapi agaknya si penjaga sekolah itu sedikit punya sifat keras kepala. Ia terkesan memaksakan keadaan agar bisa sesuai dengan keinginan hatinya "Saya disarankan Bu Shalimah untuk minta bantuan Non Kumala Dewi, makanya saya diberi alamat ini agar bisa sampai sini, Mas." "Mohon maaf sebcsar-besarnya; pak Maman... Untuk malam ini Non Kumala nggak bisa keluar dari kamarnya. Nggak bisa ketemu siapa-siapa." "Lho, kata Bu Shalimah, Non Kumala itu orangnya baik hati dan suka menolong. Bahkan mau berkorban demi keselamatan jiwa orang lain. Kenapa sama saya nggak mau, ya? Apa karena saya seorang penjaga sekolah, jadi beliau nggak mau keluar menemui saya?" "O, bukan... bukan karena itu, Pak. Tapi karena...," Sandhi terdiam sesaat. Bingung menjelaskan. Tak mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya, mengapa Kumala pada malam bulan purnama begini tidak mau keluar dari kamamya, tidak mau menemui siapa pun. Jika hal itu diceritakan, sama saja Sandhi membeberkan rahasia pribadi orang yang dikaguminya "Apa bedanya malam bulan purnama dengan malam biasa? Toh sama-sama malam juga, sama-sama gelap juga, dan sama-sama nggak ada matahari kecuali bulan. Iya kan?" ujar Pak Maman menampakkan egonya. Sandhi masih diam. Seandainya ia katakan, bahwa setiap malam bulan purnama, Kumala Dewi berubah menjadi seekor ular hijau besar bersisik emas tapi berkepala manusia, mungkinkah Pak Maman akan mempercayainya? Andai dikatakan, bahwa karena kondisi seperti itu maka Kumala Dewi tiap bulan purnama dari maghrib sampai subuh mengurung diri di dalam kamarnya dan tidak mau bertemu siapa pun, mungkinkah Pak Maman akan bisa memakluminya? Rasa-rasanya tidak. Orang itu tetap akan ngotot minta bukti. Dan kalau dia melihat sendiri keadaan Kumala Dewi malam ini, apakah dijamin tidak akan pingsan atau tidak akan berhenti mendadak detak jantungnya? Belum tentu. Belum tentu mentalnya kuat melihat keadaan seekor ular besar berkepala manusia . "Begini saja, Pak Maman... sejujurnya saya katakan pada Pak Maman, bahwa setiap tanggal lima belas menurut kalender Jawa, atau setiap tiba saatnya bulan purnama, Non Kumala harus mengurung diri dalam kamar dari maghrib sampai subuh nanti untuk melakukan meditasi.. Dan, pada saat proses meditasi berlangsung, nggak ada yang boleh bicara, melihat atau bahkan menyentuh dirinya.lni sudah menjadi ketentuan kodratnya yang nggak bisa ditawar-tawar lagi." Wajah tua Pak Maman semakin murung. Seperti menyimpan kesedihan dan sejuta kecemasan yang menyiksa jiwanya. "Kalau boleh saya tahu, Pak..sebenamya ada masalah apa sih yang dihadapi Pak Maman sampai Bapak ngotot harus bertemu dengan majikan saya ? Tolong jelaskan sedikit, barangkali saya bisa bantu mencarikan jalan keluar yang tidak harus rnelalui Kumala malam ini." Dengan suara lemah dan wajah makin murung, penjaga sekolah itu menjawab pertanyaan Sandhi. "Anak saya yang pertama; Rimma, tadi siang dapat surat dari seseorang yang tidak dikenalnya..." "Surat apa, Pak?" "Yaah, nggak tahu apa isinya. Tapi, di daerah kami kemarin malam ada dua orang yang menerima surat dari orang yang tidak dikenal. Beberapa saat setelah mereka membaca surat itu, mereka tewas secara mengerikan di dalam kamarnya. Keduanya sama-sama hilang tanpa secuil daging atau sehelai rambut. Yang tersisa hanya genangan darah memenuhi kamar mereka. Kedua orang itu tidak saling kenal tidak berdekatan rumahnya, tapi kematiannya sama-sama aneh." "Isi surat itu apa, Pak?" Sandhi berkerut dahi. "Saya nggak tahu persis, hanya dengar-dengar dari para tetangga, katanya surat itu berisi ajakan hidup bahagia secara kekal. Katanya lagi, di dalam surat itu ada bacaan mantera. Nah, cerita dari keluarga kedua korban itu punya banyak kesamaan. Pertama surat datang malam hari. Kedua, pengirim surat tidak jelas. Ketiga, isi surat ada manteranya. Keempat, mereka sama-sama mati tanpa secuil daging atau sesobek baju yang tersisa. Kelima....," Pak Maman menghentikan ceritanya. Wajah tuanya memancarkan kecemasan yang sangat menyiksa batinnya. Pada saat itu tentunya Pak Maman membayangkan nasib anaknya yang sudah berusia 24 tahun tapi masih melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta. "Kapan kejadian aneh itu terjadi., Pak?" "Kemarin! Kemarin malam. Nah, tadi sekitar pukul tujuh kurang, anak saya: Rimma, menerima surat yang berasal dari orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Saya khawatir akan terjadi seperti malam sebelumnya, maka surat itu segera saya amankan. Anak saya nggak saya izinkan membuka atau membaca surat itu" "Aneh?!" gumam Sandhi dengan dahi berkerut tajam. "Sekarang surat itu Bapak bawa?" "Ya, saya bawa. Tadi sempat saya tunjukkan pada Bu Shalimah, kebetulan beliau tinggal nggak jauh dari sekolah kami. Atas saran Bu Shalimah, surat jangan dibuka dan saya harus ke sini menemui Non Kumala untuk minta saran, apakah surat ini berbahaya atau tidak. Apakah mengandung ancaman maut atau tidak." "Coba iihat suratnya, Pak! Kok aneh amat sih?!" "Sebentar!..," Pak Maman merogoh saku celananya. Saku kanan dirogoh lebih dulu, lalu pindah ke saku yang kiri. Eksprcsi wajahnya mulai kelihatan bingung. la juga merogoh saku belakang. Saku baju batiknya. Balikan sempat melepas pecinya untuk diperiksa. Ternyata ia tidak menemukan surat yang dimaksud. "Waduh, kok hilang ya?!" gumamnya dengan tegang. Ia masih kurang percaya, sehingga perlu memeriksa semua saku pakaiannya sekali lagi. Akhirnya ia terbengong dalam posisi berdiri. "Nggak ada tuh, Mas...," katanya dengan meremas setiap saku. "Tadi dibawa nggak?" "Saya bawa! Waktu saya mau turun bis kota, sebelum naik ojek kemari, saya masih sempat mengeluarkan surat-itu dari saku kanan ini. Saya juga tadi sempat khawatir kalau surat itu jatuh di dalam biskota. Ternyata nggak tuh. Ada kok. Terus saya masukkan ke saku ini lagi," sambil tangannya menepuk saku samping kanannya. "Aneh.. ,??!" Pak Maman tertegun bengong seperti orang pikun. Sandhi diam juga dengan dahi masih berkerut. Ia bukan bingung, melainkan dalam keraguan batinnya sendiri. Benarkah terjadi peristiwa misterius itu, atau Pak Maman hanya sekedar mengarang cerita picisan ? Karena sejak kemarin malam pihak Kumala Dewi belum mendapat kabar tentang munculnya surat misterius yang mendatangkan kematian bagi s i penerirna suratnya. Pada saat Sandhi memandangi Pak Maman yang masih penasaran dan kebingungan itu, dering telepon terdengar nyaring dari ruang tengah. Buron yang menerima telepon Sandhi tak menghiraukan lagi. Ia lebih tertarik menganalisa pengakuan Pak Maman tadi. Tapi beberapa saat kemudian Buron keluar menemui Sandhi . "Tante Gessy baru saja telepon. Dia mendesak agar Kumala segera datang ke rumahnya Di sana ada kejadian aneh. Salah satu tetangganya terima surat, lalu mati tanpa jasad." "Naaahh...! Benar kan?!" sentak Pak Maman penuh semangat. Setidaknya dia merasa dapat dukungan atas kebenaran ceritanya tadi. Hal itu membuat Sandhi semakin bungkam termangu-mangu, tapi. hati keeilnya mulai pereaya dengan cerita Pak Maman tentang surat misterius itu! Buron menatap Pak Maman dengan sedikit mengerinyitkan alisnya yang tebal itu. Pak Maman jadi deg-degan, ingat tatapan aneh yang diterimanya dari Buron tadi. "Apanya yang benar?" ia bertanya pada Pak Maman. Lalu, penjaga sekolah itu salah tingkah karena bingung menjelaskannya. Melihat keadaan Pak Maman serba salah, Sandhi segera berkata pada Buron. "Pak Maman ini juga membawa masalah yang sama, tentang sebuah surat yang dicurigai sebagai surat kematian. Tetapi surat itu hilang dari saku celananya, entah jatuh atau dicopet orang, atau hilang secara misterius." "Benar, suratnya hilang, Pak?" "Benar, Mas. Tadi saya...," "Ssst...! Ssstt...!" Buron memberi isyarat supaya Pak Maman berhenti bicara. Isyarat yang secara tiba-tiba diikuti raut wajah Buron sedikit tegang itu membuat Pak Maman berdebar-debar lagi. la bungkam, Sandhi pun bungkam. Keduanya kini mengetahui bahwa Buron sedang menyimak munculnya sebuah suara. Gerak-gerik kepala Buron menandakan bahwa ia sedang mempertajam pendengarannya agar bisa mendengarkan scsuatu dengan jelas. "Ada apa?" tanya Sandhi dengan pelan. "Derap kaki kuda," jawab Buron dengan suara membisik. Sandhi dan Pak Maman mencoba mencari suara yang dimaksud Buron dengan menelengkan kepala kesana-sini. Namun mereka berdi ia tidak mcmlcngar suara derap kaki kuda seperti yangdikatakah Buron. "Jangan-jangan dia cuma mau konyol-konyolan aja?!" gumam hati Sandhi yang sempat meragukan keseriusan Buron. "Gawat!" Buron mendesis, memperkuat ekspresi tegangnva, "Apanya yang gawat?" "Elu nggak dengar suara gemuruh itu?" "Nggak ada suara apa-apa, ah!" "iya, saya juga nggak derigar suara apa-apa," timpal. Pak Maman. Sandhi hertanya lagi, "Lu serius? Ada apa sebenarnya?" "Masuklah kalian. Jangan di luar sini." "Masuk...?!" "Gue denger suara gemuruh. Itu suara derap kaki kuda. Jumlahnya lebih dari tiga ekor kuda. Entah pasukan dari mana, tapi gue merasakan getaran gelombang gaib yang bukan berasal dari alam ini. Gue rasa mereka mau lewat sini, San. Makanya, lu berdua sama bapak ini, masuk!" "Terus, elu...?!" "Gue mau hadang mereka di sini. Kalau mereka memasuki wilayah kita, gue terpaksa bertindak tegas, apapun yang terjadi! Masuk sana!" Sandhi mulai memahami maksud Buron. Sebagai jelmaan Jin Layon tentunya Buron memiliki radar gaib yang dapat menangkap datangnya gelombang gaib dari pihak lain. Wajar saja jika Buron bisa mendengar suara derap kaki kuda, karena dia menggunakan kesaktiannya sebagai Jin Layon yang mampu mendengarkan suara dari alam lain. Maka, tanpa banyak bertanya lagi Sandhi segera membawa Pak Maman masuk ke dalam - rumah. Pak Maman diliputi kebingungan dan keraguan. Akhirnya ia beranikan diri berbisik pelan pada Sandhi ketika rncrekainasih di depan pintu masuk. "Apa benar ada suara kaki kuda sih? Saya nggak dengar suara itu. Kenapa dia ngotot mendengar suara derap kaki kuda, Mas?" "Udahlah, ikuti saja apa kata dia, Pak. Sampean kan nggak tahu. siapa dia sebenarnya. Jadi, sebaiknya kita ikuti saja sarannya tadi." "Mas, memangnya dia itu siapa sih?" Bisikan Pak Maman semakin lirih. Sandhi tampak ragu-ragu untuk menjawabnya. Pada Saat itulah, Sandhi dan Pak Maman melihat kerlapkerlip cahaya merah melintas jalanan di luar pagar. Cahaya merah itu seperti lidah api kecil-kecil yang jumlahnya puluhan. Mereka bergerak bagaikan kapas terbakar yang terbang di udara dalam satu arah. Namun cahaya-cahaya kecil itu tidak mcnimbulkan bunyi. karena tak ada suara aneh apapun yang tertangkap oleh pendengaran Pak Maman dan Sandhi. Buron tampak diam saja. Berdiri dengan kedua tangan bersidekap di dada. Ia memperhatikan gerakan cahaya-cahaya itu. Agaknya ia sengaja berjaga-jaga mengamankan kediaman Dewi Ular tersebut. Ia tak akan bergerak atau melakukan tindakan jika tidak ada satu cahaya pun yang mencoba memasuki 'daerah kekuasaannya'. "Kenapa Buron diam saja, ya?" pikir Sandhi sambil berdebar-debar karena pengaruh gaib yang dibawa oleh cahaya-cahaya merah itu. Sandhi tidak tahu bahwa sebelumnya Buron sudah mendapat bisikan dari Kumala Dewi yang ada di dalam kamarnya. Kumala mengirimkan suara gaib kepada Buron, dan Buron dapat mendengarnya karena ia memiliki kesaktian sebagai keturunan bangsa jin. "Surah mereka masuk, Buron..Sandhi dan tamu kita" Begitu suara bisikan Kurnala yang diterima Buron tadi. Maka, ia pun menyuruh Sandhi dan Pak Maman masuk. "Jangan berbuat apapun kalau nggak ada yang memasuki wilayah kita. Tapi tetaplah berjaga-jaga." Itu suara bisikan Kumala berikutnya. Lalu, suara bisikan itu didengar lagi oleh Buron saat cabaya itu lewat di depan rumah. "Biarkan mereka lewat. Tetaplah diam di tempatmu." Di dalam hatinya Buron bertanya, dan suara hati Buron itu terkirim melalui jalur gaib ke telinga batin Kumala Dewi. "Siapa mereka ini? Apakah pasukannya Dewa Kegelapan?" "Mereka roh-roh baru. Belum jelas ke mana arah tujuan mereka. Karena itulah, setelah mereka semua lewat, ikuti mereka dari kejauhan. Hati-hati, jangan sampai ada pihak sana yang mengetahui gerakkanmu." Maka, setelah barisan sinar merah itu melintas semua, tibatiba Buron berubah menjadi cahaya kuning. Claaap...! Pak Maman tersentak kaget. Matanya membelalak dan tak mampu bicara sepatah kata pun. 0o-dw-kz-234-o0 3 SEBUAH mobil Audi Quarto warna merah saga berhenti tepat di depan rumab Moina. Pengemudinya seorang wanita cantik berusia sekitar 26 tahun. Perawakannya tinggi, sekal, kulit kuning langsat, rambut panjang sepupggung diurai lcpas. Kccantikannya sempat . merflukau bebarapa tetangga yang masih bcrkerumun di rumah Moina. "Ooo, ini 'orangpintar' yang dimaksud sepupunya Moina?!" bisik Tante Gessy dengan sedikit mencibir. Ia tak yakin dengan kemampuan supranatural wanita berdada tidak terlalu montok tapi cukup seronok itu. Afen, sepupunya Moina, segera menyambut kedatangan tamunya dengan ciuman di pipi. Seakan ia pamerkan kepada mereka bahwa hubungannya dengan wanita cantik itu sangat intim. Menurut Afen, wanita itu punya nama seperti nama mobilnya, yaitu: Audy. Afen dan Desty berusaha menceritakan kronologis peristiwa menyedihkan itu kepada Audy. Fahrel dan mamanya ikut menimpali dengan nada duka yang masih menghiasi rona wajah dan hati mereka. Audy berdiri di depan pintu kamar Moina, sementara beberapa petugas kepolisian juga tampak sibuk melakukan investigasi secara serius. "Masih ingat bunyi mantera yang tertera di surat itu?" "Moi nggak bilang. Dia nggak sebutkan mantera itu,"jawab Desty sambil mengendalikan isak tangisnya. "Bagus," Audy manggut-manggut. "Beruntung nggak ada yang tahu bunyi mantera itu. Jadi korbannya cuma satu." "Apa maksudmu bilang begitu,Honey!"bisik Afen. Audy tetap tenang. "Dalam tiga malam berturut-turut sudah ada lebih dari 15 orang menjadi korban surat misterius itu. Aku dapat laporan dari beberapa rekanku, baik melalui telepon maupun secara langsung. Cuma, datang langsung ke TKP baru sekarang ini. Dan agaknya saat ini sedang beredar teror surat kematian. Isinya mantera aneh yangmembawa bencana bagi si penerima surat.Aku curiga, mungkin mantera itu juga akan merenggut nyawa orang lain yang mendengar ucapannya atau ikut membacanya." " Pasti begitu?!" "Dugaanku begitu." "Bisa kau gunakan indera keenammu untuk mengetahui ke mana perginya Moina, atau ada apa sebenarnya dengan dia? Siapa pengirim surat itu dan apa maunya?" Tampak jelas sekali Afen sangat mengandalkan kemampuan supranaturalnya Audy. Sementara yang diandalkan masih belum yakin apakah dirinya mampu betul menangani kasus tersebut. Dari pandangan matanya yang sedikit menerawang agaknya Audy merasakan ada sesuatu yang membahayakan di balik pcristiwa misterius itu. Namun rasa was-was tersebut tetap ia sembunyikan dari pandangan orang lain. "Ayolah, gunakan kehebatanmu sekarang juga, Honey!" desak Afen. "Aku yakin kamu bisa membawa pulang kembali sepupuku vang.pajing kucintai itu. Lakukan sekarang, Honey!Please...!" Audy bangkit dari duduknya. Ia menghampiri kamar Moina yang lantainya masih berlumuran darah, yang tadi beberapakali sudah dilakukan pemotretan oleh pihak kepolisian. Ketika itu, Fahrel mendampingi mamanya memberi keterangan yang diperlukan oleh pihak kepolisian. Beberapa pasangmata memperhatikan gerak-gerik Audy, termasuk Tante Gessy dan beberapa tetangga yang hanya bisa memandangi dari lorong menuju dapur. Darah memang masih segar menggenangi seluruh permukaan lantaikamar. Tapi tiba-tiba cairan merah mengerikan itu bergerak perlahan-lahan. Yang berada di bagian tepi menyusut ke tengah Yang menggenangi bagian tengah lantai bergerak naik, seperti bentangan karpet yang ditarik dari bagian tengahnya Hal itu terjadi setelah Audy memandangi kamar itu tanpa berkedip. Ia tak melakukan gerakan apa-apa. Bibirnya terkatup rapat, dan bukan komatkamit selayaknya membaca mantera sakti. Namun dengan pandangan matanya ia mampu membuat keanehan yang mencengangkan beberapa orang di situ. Genangan darah itu makin berkumpul ke tengah. Zuuut, zuuut, zuuut...! Lama-lama membentuk gumpalan seperti tanah liat yang menjulang ke atas. "Gila?! Dia bisa bikin darah-darah itu berkumpul jadi satu?!" bisik seorang tetangga. "Wah, nggak sia-sia gadis itu dipanggil kemari. Lihat..., lantai bekas darah tadi kering kerontang, seperti nggak pernah basah oleh darah?!" "Dia memang hebat, ya?" salah seorang menyodokkan sikutnya kepada Tante Gessy. Tapi janda cantik itu mencibirkan bibimya. "Belum seberapa kalau dibandingkan dengan Kumala Dewi, guru senamku itu " 'Tapi... lihat... lihat itu! Darahnya menggumpal ke atas! Membentuk seperti patung, eeh... seperti orang... eh, bukan... seperti... seperti..." Darah-darah itu memang menjadi satu dan menggumpal. Gerakkan darah seperti ombak kental. Sepertinya kekuatan gaib yang dimiliki Audy sedang bcrusaha mengerahkan darah itu untuk membentuk sesosok makhluk yang tak jelas, apakah manusia atau bukan. Ketika gumpalan darah itu membumbung ke atas, hampir menyeamai sesosok manusia, tiba-tiba dalam satu sentakan kuat gumpalan itu seperti meledak tanpa suara. Pyaaaakkk...!Crraaaaattt...! "Auufh...!!" Audy terpekik pelan karena darah yang menyembur ke berbagai arah itu sebagian memercik ke wajahnya. Posisinya yang berdiri dekat sekali dengan pintu kamar membuat bukan hanya wajahnya yang terkena percikan darah, namun juga sebagian badannya. Terutama bagian depan. "Uuhhkk..'.!" Audy mengerang dengan terhuyung-huyung mundur. Wajahnya menyeringai kesakitan. Ia memegangi dadanya. Akhirnya ia jatuh terhempas di sofa dalam posisi duduk menahan sakit. "Audy..??! Audyyy...?!" Afen miilai panik. Ia menghampiri Audy, namun tak tahu apa yang harus dilakukan. Wanita kebanggaannya itu terengah-engah sambil masih memegangi dadanya. Menahan rasa sakit. Seperti ada sesuatu yang mcnghantam dadanya dengan keras dan membuatnya sulit bernapas. Darah di kamar kembali menggenang seperti tadi. Namun, sekarang ada sebagian darah yang memercik mengotori lantai di luar kamar. Orang-orang yang menyaksikan hal itu tersentak mundur dengan sendirinya. Mereka dicekam rasa takut dan kecemasan. "Audy, kau.. kau mengalami cedera?!" tanyaAfen tegang. "Jauhi aku dulu. Jangan sentuh aku," suara Audy sangat berat. Afen mundur dua langkah. Audy memejamkan matanya dengan badan terbungkuk, tangan memegangi dada dan perutnya. Badan yang berlumur darah itu bergetar. Rupanya Audy sedang mengerahkan tenaga dalam atau sejenisnya untuk mengatasi rasa sakit yang dideritanya. Ia sempat mengeluarkan suara menggeram besar dan serak. Menyeramkan bagi yang mendengarnya. "Hhmmmgggrrrmm.,.!!" "Tolong ambilkan air minum. Air putih!" seru Afen entah kepada siapa memang tak jelas. Tetapi pada saat itu Ali, si pelayan, segera mengambilkan segelas air putih dari meja makan. Namun, sebelum air putih itu diberikan kepada Afen, suara geraman Audy sudah hilang. Ia sudah tidak membungkuk lagi. Menghirup napas panjang, lalu menghempaskan dengan lega. Ketika Afen menyodorkan segelas air putih, Audy menolak. "Aku nggak apa-apa. Okey. Nggak apa-apa. Nggak perlu air itu." "Tapi kau..." "Aku sudah atasi energi setan yang nyaris membuat pecah jantungku tadi menggunakan hawa saktiku. Tenang, aku nggak apa-apa, Fen." Afen menghembuskan napas panjang. Lega. Yang lain ikutikutan begitu. Mereka melihat kondisi Audy pulih seperti sediakala. Hanya napasnya masih sedikit terengah-engah, dan sekarang sedang dalam penormalan kembali. "Aku mencoba menghimpun bayangan pelakunya Aku menggunakan kekuatan darah sebagai jejak gaib yang ia tinggalkan. Tetapi... agaknya jejak gaib itu menyimpan energi milik si pelaku. Energi itu sangat besar, sehingga nggak cukup dilawan dengan kekuatanku yang ala kadamya tadi. harus kugunakan kekuatan jati diriku, dan.., itu nggak bisa dilakukan sekarang. Aku butuh persiapan khusus." Bibir sensual Audy mendekati telinga Afen. Ia berbisik. "Aku butuh energi tambahan darimu." "Dariku...?!" Afen tampak bingung mengartikan bisikan itu. Kepala Audy mengangguk dengan mata memandang penuh makna yang sangat pribadi. Afen mulai dapat meraba maksud bisikan itu. Dugaannya semakin kuat setelah Audy berbisik kembali padanya. "Ikutlah ke apartemenku malam ini juga.'' "Hmm, eeh... apakah harus malam ini?!" Afen semakin lirih. Audy mengangguk lagi. "Sebelum semuanya menjadi terlambat dan semakin memakan korban lebih banyak lagi. Kita harus mencegahnya. lebih cepat lebih baik. Karena itu..., ikutlah aku!" "Lalu... urusan ini...?!" "Kita tangguhkan dulu. Nggak bisa diselesaikan saat ini juga" Audy bangkit lebih dulu bersikap mendesak. Dan, hal itu sulit ditolak oleh Afen, karena ia ditatap dengan pandangan mata sayu yang menggetarkan hatinya. Darahnya terasa mengalir dengan deras. "Setiap kali ia menatapku begitu, kenapa aku selalu bergairah?! Sulit sekali untuk menahannya?!" gumam Afen dalam hati. Sejujumya Afen mengakui, suasana hatinya masih berduka. Tapi dengan jujur pula hati itu mengakui, ada gemuruh yang meresahkan manakala ia menerima tatapan sayu Audy. Gemuruh itu adalah luapan hasrat yang makin ditentang semakin mengganas, sehingga sulit baginya untuk menolak atau menghindar dari tantangan mesra Audy. "Pelakunya memiliki energi gaib sangat besar" kata Audy di dalam mobil merahnya. Ia sendiri yang mengemudikan mobil merah saga itu, sementara Afen hanya duduk di samping kirinya. "Pengirim surat itu bernama: Lexian, kata Desty. Kau kenal?" "Lexian?" gumam Audy. "Nama itu pasti nama samaran. Aku nggak mengenal nama itu. Aku hanya mengenali jenis energi gaibnya" "Maksudmu...?" "Bukan energi gaib milik manusia atau makhluk penghuni bumi." "0,ya?!" "Energi itu milik penghuni alam lain. Makanya, nggak bisa kutangani dengan kekuatan ala kadarnya. Energiku sendiri sudah lama nggak diisi. Kita nggak ketemu sekitar lima hari, bukan?" "Enam hari," ralat Afen. "Lima hari aku di Bali, dan kemarin aku pulang, tapi belum sempat jumpai kamu." "Ya, ya.... enam hari aku disibukkan dengan persoalan temanku yang menyita perhatian, sampai aku lupa nggak isi bensin," lalu Audy tertawa lepas. Tawanya memberi makna tersendiri atas istilah isi bensin yang digunakan untuk memancing perhatian khusus Afen. Bujangan berkulit coklat dengan tangan ditumbuhi rambut agak lebat itu tersenyum kecil. la sangat memahami apa maksud ucapan tersebut. "Selama menjalankan tugas kantormu di Bali, nggak ada bule yang terbenam dalam pelukan malammu, bukan?" Audy melirik nakal. "Kamu pikir mereka bisa membuatku bergairah, apa? Hmm, nggak ada yang bisa membuatku bergairah selain kamu." "Oh ya?! Tapi kenapa tanganmu diam saja dari tadi, Sayang?" Sindiran itu juga sangat dipahami oleh Afen. Maka, dalam waktu singkat tangan kanannya sudah berada di pangkuan Audy. Audy mengenakan span ketat dari kain halus dan lembut. Sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi Audy dapat menikmati usapan lembut tangan Afen. "Ooh, yaaah... aku dapat merasakan getaran cintamu lewat usapan lembut tanganmu, Sayang. Kamu benar-benar nggak menyentuh wanita sedikit pun selama di Bali. Aku percaya sekarang." ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Audy tertawa kecil; agak parau. Ia menyodorkan pipinya ke kiri. Afen segera menciumnya. Ketika mereka berada di dalam lift yang membawa mereka ke lantai delapan, Afen tak mampu menghindar ciuman hangat Audy. Karena di dalam lift hanya ada mereka berdua, maka Audy merasa sangat leluasa menciumAfen. "Hey, hey... sadar, kita masih di dalam lift, Sayang. Jangan nekat begini,.. kita di dalam lift, Honey. Nanti kalau..." Zeebb...! Tiba-tiba lift berhenti. Kata-kata Afen terputus seketika. Ia sempat menggeragap karena khawatir pintu lift terbuka dan seseorang yang akan masuk melihat mereka pacaran. Tetapi ternyata pintu lift tidak terbuka. Bahkan lampu penunjuk angka lantai yang tadi berwarna merah, sekarang dalam keadaan padam. "Astaga...?! Lift berhenti di lantai berapa nih?!" Afen agak tegang. "Jangan cemas.. " kata Audy. "Lift berhenti di pertengahan lantai... Nggak akan ada yang bisa masuk... Kita punya kesempatan leluasa di s ini." "Ka... kamu yang menghentikan lift ini?" "Yaah, aku! Jangan takut. Kau bebas melakukan apa yang ingin kau lakukan pada diriku, Sayang." "Gila...!" desis Afen sambil tertawa parau. Hatinya sempat heran bercampur kagum pada kehebatan Audy, yang mampu menghentikan lift di pertengahan lantai dengan kekuatan gaibnya, hanya karena hasrat bercintanya sudah tak terbendung lagi, maka, tanpa banyak berpikir lagi, Afen menuruti keinginan Audy. Selama dua bulan Afen mengenal Audy, ia sering dibuat kagum oleh inovasi-inovasi bercinta yang di lakukan Audy terhadap dirinya. Sesuatu yang tak pemah terlintas dalam khayalan Afen bisa saja terjadi dan dilakukan oleh Audy demi memenuhi hasratnya. "Memang asyik sih sama dia," pikir Afen. "Tapi aku bisa rapuh kalau terus-terusan begini. Dia seperti menghisap seluruh tenagaku. Aku merasakan sekali hal itu. Lalu..., kenapa sampai sekarang aku nggak pernah bisat menolaknya, ya?" Terrtu saja Afen merasa heran dengan keanehan dalam dinnya, karena ia tidak tahu siapa sebenamya Audy. Ia hanya mengenal Audy sebagai sosok wanita muda, cantik, sexy, penuh daya tarik, dan memiliki kemampuan supranatural dengan bisnis keseharian yang tak jelas. Tinggal di apartemen bergengsi dan memiliki banyak relasi. Hanya itu yang diketahui Afen tentang Audy. Ia tidak tahu bahwa Audy memiliki kesaktian yang lumayan tinggi. Untuk memelihara energi saktinya itu ia harus menverap energi lelaki dengan cara mengajaknya bercinta. Afen juga tidak tahu bahwa Audy sebenamya wanita jelmaan yang dulunya menjadi penghuni alam kegelapan. Ia mantan pengawal kepercayaan Dewa Kegelapan yang memiliki nama asli: Nyimas Kembangdara. Karena kecewa kepada Lokapura alias si Dewa Kegelapan, maka ia memboikot dari kekuasaan alam sana, lalu hidup di bumi sebagai wanita jelmaan yang tak kalah cantik dengan wanita sejati. Sosok aslinya sangat mengerikan. Seandainya Afen melihat sosok asli Audy, maka besar kemungkinan Afen akan mati berdiri. Setidaknya pingsan di tempat. Tak.akan sanggup menahan rasa takutnya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "KUPU-KUPU IBLIS"). Kini, setelah Audy memperoleh tambahan energi baru melalui permainan cintanya dengan Afen, apakah ia mampu menghadapi teror surat kematian yang makin hari makin mencemaskan masyarakat itu ? 0o-dwkz-234-o0 4 Belum pukul 6 pagi, telepon di rumah Kumala sudah berdering. Sandhi belum bangun. Yang sudah bangun Mak Bariah. Tetapi selama di rumah masih ada Sandhi, Buron atau bahkan ada Kumala, Mak Bariah tak akan berani angkat telepon. Ia merasa urusan telepon bukan termasuk 'direktoran perdapuran'. Oleh karena itu Mak Bariah diam saja walau pun dering telepon menjerit berulangkali. "Aaah, siapa sih yang gangguin orang tidur jam segini...?!" Sandhi menggerutu kesal sambil bergegas bangun. Matanya mengerjap-ngerjap dengan mulut menguap lebar saat menghampiri meja telepon. "Hallo," sapanya dengan nada datar. "Siapa nih? Sandhi ya?" "Ya," dengan alis bcrkerut. Ta mengenali suara cowok di seberang sana. "Ada apa, Nik?" "Dewi udah bangun?" "Belum," seraya Sandhi melirik ke arah pintu kamar Kumala yang masih tertutup rapat. "Semalam kan malam bulan purnama. Kamu pasti tahu sendiri apa yang dilakukan Kumala pada malam purnama, Nik." Sandhi berani berkata begitu karena ia tahu persis peneleponnya adalah Niko Madawi. Dulu pernah jadi pacarnya Kumala, tapi putus lantaran kesetiaan Niko tak teruji. Meski pun putus hubungan cinta namun hubungan kekeluargaan masih tetap berjalan. Niko sekarang menjadi selebritis kondang membawakan beberapa acara di televisi, dan yang sampai sekarang masih banyak peminatnya adalah acara Lorong Gaib, (baea serial Dewi Ular dalam episode: "ILUSI ALAM KUBUR"). "Aku nggak akan berani mengusik keadaannya, Nik. Kamu tahu sendiri kan kondisi dia kalau lagi begini " "Tapi ini kan udah pukul lima lewat, San. Waktu dia mengurung diri dalam kamar hanya sampai subuh. Dan, adzan subuh sudah lewat dari tadi jadi kurasa dia sudah selesai. Tolong bangunin dia. Penting sekali." "Aku tetap nggak berani, Nik. Bener, nggak berani!" "Bilang aja, keponakanku terima surat aneh tadi malam dari seseorang yang misterius." "Surat aneh?" dahi Sandhi berkerut, teringat cerita Pak Maman. "Bayangkan aja... masa jam satu malam tadi ada pak pos nganterin surat buat Ochi sih? Untung abangku curiga karena udah dcngar kabar tentang teror surat kematian itu, makanya Ochi dilarang keras mcmbuka surat itu. Abangku lalu menghubungi aku, dan sekarang aku di rumah dia. Aku butuh Kumala sekarang juga, San." "Gawat," gumam Sandhi. Lalu bcrkata kepada Niko, "Mendingan kamu telepon lagi aja deh, yaah... sekitar lima belas menit lagi-lah, sebab..." Sandhi tak jadi melanjutkan ucapannya karena mendengar suara lembut di belakangnya. "Biar kuterima teleponnya Niko itu.." "Oh, udah bangun?" Sandhi menyeringai kecil, menatap kemunculan Kumala Dewi dari dalam kamar. Temyata saat itu Kumala sudah tidak berbadan ular lagi. Ia sudah berubah seperti biasa. Cantik, bertubuh sintal, sexy dan berkulit putih halus, selembut kulit bayi. Kekuatan supranaturalnya telah membuat Kumala Dewi mengetahui si penelepon adalah Niko Madawi. Bahkan ia juga sudah mendengar percakapan Niko dengan Sandhi sejak ia berada dalam kamar tadi. Sandhi segera menyerahkan gagang telepon kepada Kumala. "Aku akan segera datang, Nik." "Oh, syukurlah kamu sudah bangun, Dewi. Begini..." "Aku sudah dengar semuanya. Jaga jangan sampai surat itu ada yang membukanya. Jauhkan surat itu dari keponakanmu, biar dia nggak penasaran atau ngotot ingin membaca isinya" "Iya nih, si Ochi pengennya buka surat itu. Dia. sampai nangis dan ngamuk-ngamuk kayak orang kesurupan. Kami hampir kewalahan mengatasi amukannya Lalu.. " "Pokoknya usahakan dia jangan sentuh surat itu lagi Beri aku waktu lima menit untuk sampai di tempat kakakmu. O, ya... ini kakakmu yang tinggalnya di Bintaro kan?" "Bukan. Ochi itu anaknya Bang Erson, yang tinggal di Kelapa Gading." Kumala Dewi menggumam dan manggut-manggut kecil. Ia pernah dengar nama Bang Erson beberapa waktu yang lalu. Ia tahu bahwa keluarga Erson memang menjalin hubungan sangat akrab dengan Niko, walau pun sebenarnya Erson adalah kakak sepupunya Niko. Namun, sudah seperti kakak kandung sendiri. Erson banyak membantu Niko sewaktu Niko belum sukses menjadi presenter di beberapa acara teve. Ochi adalah putri pertamanya Erson yang baru masuk kuliah tahun ini. Ia gadis yang cerdas, gesit, lincah, dan pandai bergaul. Wataknya memang keras, namun biasanya kekerasan hatinya itu hanya bisa diluluhkan oleh bujukan Niko. Entah mengapa Ochi sering merasa tidak berkutik di depan Niko yang dianggap scbagai oom kesayangannya. Namun agaknya kali ini Ochi tidak peduli lagi dengan siapa Niko sebenarnya. Ia marah besar kepada papanya yang telah merebut surat itu dari tangannya. Erson sempat curiga dengan kedatangan pak pos di malam hari. Erson juga ingat cerita dari rekannya melalui telepon sekitar pukul delapan malam tadi, tentang seorang gadis yang tewas secara mengerikan setelah menerima surat aneh yang datangnya malam hari. Ada dua orang yang kebetulan bercerita pada Erson tentang hal itu, dan kedua orang tersebut tidak saling kenal, serta yang diceritakan adalah korban yang tinggalnya berjauhan. "Karena itulah aku jadi curiga dengan surat yang barusan diterima Ochi. Dengan paksa kurebut surat itu dari tangan Ochi sebelum dia masuk ke kamarnya," tutur Erson kepada Kumala setelah Dewi Ular tiba di rumahnya bcrsama Sandhi. "Sekarang di mana surat itu ?" "Ada pada saya," sahut istrinya Erson. Ia ingin menyerahkan surat tersebut dari dalam saku dastemya, namun dicegah Kumala. "Pegang dulu. Saya akan redakan dulu amukan Ochi," seraya Kumala menyunggingkan senyum keramahan yang selalu membuat orang lain jadi terkesan padanya. Keadaan rumah berlantai dua itu cukup memprihatinkan. Ruang tengahnya berantakan. Konon, yang membuat barangbarang berantakan adalah amukan Ochi tadi. Ochi sendiri kamarnya ada di lantai atas. Ketika Kumala dan Sandhi naik ke lanlai atas, ditemani Niko dan Erson, pemandangan pertama yang ia lihat adalah keadaan yang lebih kacau dari ruang tengah tadi. Ochi menghamburkan semua benda yang terbuat dari kaca, termasuk lukisan dan foto yang semula menghiasi dinding ruangan santai di lantai atas depan kamamya. "Anak itu ada di kamarnya?" tanya Sandhi pada Niko, tapi yangmenjawab papanya Ochi. "Wah, kalo kami sekap dia di kamar tidurnya berbahaya sekali. Dia bisa memecahkan kaca balkon , atau bahkan nekat lompat ke bawah atau... entah apa lagi. Makanya, kami mengurungnya di dalam kamar mandi." http//zheraf.mywapblog.com Sedetik setelah Erson berkata begitu, terdengar suara Ochi dari dalam kamar mandi sambil menggedor-gedor pintu. Sangat gaduh dan cukup mencekam. Karena kata-katayang terlontar dari rnulut Ochi bukan hanya protes atas tindakan penyekapan itu, namun juga ancaman bagi kedua orang tuanya. "Buka pintunyaaa...! Lihat aja, ntar kalo gue bisa keluar dari sini, gue bunuh papa dan mama...!! Gue bunuh kalian semuaaa...!! Gue bunuuuh...!" Braaak, braaak, brruuuk, braaak, gubraaak, gubraak... !! Beruntung pintu kamar mandi cukup kokoh, meski didobrak berkali-kali tak sampai lepas engselnya, atau tak sampai jebol kayunya atau tak sampai rusak handel pintunya. Pintu itu hanya bergetar saat didobrak dari dalam. Tapi getaran pintu tersebut sudah cukup mengherankan bagi Sandhi. "Busyet...?! Tenaganya kuat amat tuh cewek?!" gumamnya di samping Kumala. Dengan pelan Kumala pun berbisik padanya. "Bukan tenaganya sendiri yang beraksi. Amukannya merupakan dampak dari pengaruh gaib yang dipancarkan dari surat tersebut. Kalau surat itu dari manusia biasa, dia nggak akan sampai ngamuk-ngamuk seperti ini. Surat itu rupanya memiliki energi gaib yang dapat langsung mempengaruhi jiwa orang yang dituju. Membuat orang itu sangat penasaran untuk segera membaca isinya." "Katanya, anak Pak Maman juga begitu, tapi nggak sampai ngamuk, cuma menangis dan menjerit histeris sewaktu suratnya direbut Pak Maman." Kumala Dewi tampil dengan kalem dan tampak tenang sekali. Ia menghampiri kamar mandi, tanpa mempedulikan teriakan dan gedoran yang terdengar semakin mengerikan. Yang lain berhenti dalam jarak sekitar lima langkah dari kamar mandi. "Oom Nikooo...!! Keluarkan aku dari siniii....! Ooooomm... keluarkan aku sekarang juga, dengaaar?. Kalau nggak mau bantu aku, akan kubunuh juga kamu, Oom...!! Cepat keluarkan akuuu...!!" Braak, braak, braak, gubraak, gubraaak, daaarr .! "Ochi.., ini saya... Kak Kumala, temannya Oom Niko." Kumala menempelkan tangannya di pintu kamar mandi, lalu berseru demikian. Suaranya tidak terlalu keras, namun sepertinya bisa didengar dari dalam kamar mandi. Telapak tangan yang ditempelkan di pintu cukup menarik perhatian mereka, karena dari sela-sela jari terlihat ada asap hijau tipis yang mengepul perlahan-lahan. Asap itu sangat tipis, sehingga untuk melihatnya perlu ditatap dengan penuh konsentrasi. "Saya akan keluarkan kamu dari dalam situ, Ochi. Tcnanglah duju. 0,ya... mana tadi kuncinya ya? Oom Niko, tolong ambilkan kuncinya, biar Ochi bisa keluar. Kasihan. Anak manis kok dikurung di kamar mandi sih..." Hening. Sepi. Tak ada suara amukan yang mengerikan. Tak ada kegaduhan apapun sejak telapak tangan Kumala ditempelkan di pintu. Erson dan keluarganya merasa heran melihat Kumala mampu menenangkan suara Ochi dengan mudah, seperti bicara pada anak kecil. Hal seperti itu tidak terlalu mengherankan bagi Niko dan Sandhi yang sudah lama mengenal Kumala Dewi. Mereka yakin, bahwa Kumala telah menggunakan kesaktiannya melalui telapak tangan dan getaran gelombang suaranya. Energi yang dipancarkan dari telapak tangannya mampu menembus pintu setebal apapun, dan langsung berpengaruh pada kejiwaan Ochi. Demikian pula getaran gelombang suaranya, pasti memiliki energi sakti yang dapat melumpuhkan emosi Ochi dalam waktu relatif singkat. Niko menyerahkan kunci, lalu Kumala membuka kamar mandi tersebut. Tampak wajah cantik Ochi sedang berdiri mematung di depan pintu. Punggungnya bersandar pada dinding. Ia memandang dengan pandangan kosong. Ekspresinya datar. Sepertinya nyaris tanpa tenaga lagi. Kumala Dewi segera menuntunnya keluar. Ochi menurut tanpa reaksi keras sedikit pun. Ia bahkan seperti orang linglung yang tidak mengerti mengapa ada banyak orang di depan kamar mandi, mengapa ia bisa berada di dalam kamar mandi, dan mengapa ia disambut dengan keharuan oleh keluarganya. Setelah didudukkan di sebuah sofa, Kumala mengusapkan telapak tangannya satu kali di wajah Ochi. "Beri dia minum, biarkan istirahat dulu," katanya kepadaNiko. "Tapi dia..." "Nggak. Dia udah nggak berbahaya. Pengaruh iblis yang membuatnya seperti tadi udah kulumpuhkan. Yang penting, jauhkan dia dari surat itu. Kalo dia melihat atau berada dalam jarak cukup dekat dari surat itu, maka pengaruh iblis akan merasukinya kembali." "Maksudmu, surat itu jelas dari iblis?!" bisik Niko. Dewi Ular yang cantik jelita itu tersenyum kecil sambil menuruni tangga menuju lantai bawah. Meski pertanyaan Niko tidak dijawab, tapi seulas senyum manis Kumala sudah mewakili jawaban, bahwa kesimpulan Niko itu memang benar. Sepertinya ada yang lebih penting dibahas lebih dulu oleh Kumala ketimbang kesimpulan Niko, terbukti saat menuruni tangga yang ditanyakan Kumala adalah mamanya Ochi. Perempuan agak gemuk yang menjadi istri Erson itu tadi tidak ikut naik ke lantai atas karcna memang demikianlah permintaan Kumala. Dan, Niko sangat paham kenapa mamanya Ochi tidak diizinkan ikut naik, karena dialah yang saat ini memegang surat aneh itu. "Kak Ros...! Kaaak...!" seru Niko memanggil-manggil mamanya Ochi. "Mama di teras, Oom," kata Denny, adik bungsu Ochi yang baru kelas II SD. Anak itu tadi tidak ikut naik ke atas, karena takut pada amukan kakak sulungnya. Niko lebih dulu tiba di teras menemui Rossa, istri Erson. "Kak Ros, si Ochi sudah tenang. Dewi sudah berhasi 1 melumpuhkan pengaruh iblis yang tadi merasuki jiwanya.""Oooh, syukurlah kalau begitu...." "Sekarang, mana suratnya? Mau diperiksa Kumala Dewi." "Itu dia, Nik...." "Itu dia bagaimana?!" "Surat itu nggak ada di saku dasterku. Padahal dari tadi nggak kukeluarkan, bahkan aku pegang terus dari luar saku. Tapi sekarang... kok nggak ada, ya?" "Nggak ada? Kok bisa nggak ada sih?" "Mungkin jatuh di sekitar teras ini. Seingatku tadi waktu Kumala Dewi datang, surat itu masih di saku dasterku dan mau kuberikan padanya tapi malah dia suruh simpan dulu kan. Terus kalian masuk ke lantai atas. Aku mondar-mandir sekitar ruang tamu dan teras. Tapi, sekarang surat itu nggak ada di saku dasterku ini. Apa... jatuh di sekitar teras sini kali, ya?" Niko jadi ikut-ikutan berjalan kesana kemari dengan kepala menunduk, mencari benda yang diduga jatuh di sekitar teras. Beberapa tetangga yang tadi ikut membantu menenangkan amukan Ochi, kini ikut mencari surat bersampul putih dengan tepian garis-garis merah biru. Surat itu hilang. "Ya, sudahlah... nggak usah dicari-cari lagi. Bikin capek aja," kata Kumala dengari tetap kalem, tetap ramah dan mengesankan bagi siapa saja. "Tapi tadi waktu kalian berdua datang, surat itu masih ada di saku saya. Malahan mau saya berikan tapi kamu tolak, kan. Nanti saja, katamu." "Bukan saya tolak, tapi saya tangguhkan dulu, Kak," ralat Kumala. "Tapi seingat saya tadi tangan Kak Ros belum sempat masuk ke dalam saku daster kan? Baru mau memasukkan tangan ke dalam saku, tapi sudah saya tahan. Ingat nggak?" "Hmmm, eeehh, iya... kayaknya sih begitu. Tangan saya belum sempat masuk. Lalu, kenapa? Apa ada hubungannya dengan hilangnya surat itu?" tanya Kak Ros dcngaruJahi makin berkerut tajam. Sandhi menyahut, "Surat itu sudah hilang sejak kami tiba di sini. Begitu maksudmu, Kumala?" "Sudahlah nggak usah dibahas lagi. Yang periting, Ochi sudah kembali dalam kesadaran jati dirinya." "Aku jadi ingat dengan Pak Maman," bisik Sandhi kepada Niko ketika mereka berdua agak jauh dari yang lainnya, "Pak Maman itu siapa?" Sandhi menceritakan peristiwa datangnya seorang tamu yang berprofesi sebagai penjaga sekolah, dan akrab dipanggil: Pak Maman. "Surat yang dibawa Pak Maman tadi juga hilang setelah dia kuterima di teras. Tapi waktu dia turun dari biskota, surat itu masih ada di sakunya " "Kok bisa begitu,ya San?" "Jadi, kayaknya aurat itu akan lenyap atau hancur jika berada dalam wilayah energi gaibnya Kumala. Mungkin begitu Pak Maman masuk halaman rumah kami, surat itu langsung lenyap. Begitu pula tadi, saat Kumala datang bersamaku, surat itu langsung lenyap akibat terjangkau oleh getaran energi saktinya Kumala" "Kekuatan gaib yang ada dalam surat itu melarikan diri begitu didekati energi saktinya Dewi, begitu maksudmu?" "Semacam itulah." "Nanti kalau Kumala Dewi pergi bagaimana? Apakah surat itu muncul lagi, atau tetap hilang selamanya?" "Nah, itu yang belum jelas,"jawab Sandhi cepat. Sandhi dan Niko ingin menanyakan hal itu kepada Kumala Dewi. Namun niat mereka tertahan lantaran Kumala sedang bicara serius kepada Erson dan istrinya sebelum berpamitan. Kumala mencabut sehelai rambutnya, kemudian diserahkan kepada istri Erson. "Kalau nanti setelah saya pergi surat itu muncul lagi, entah di saku daster Kak Ros, atau di meja, atau di mana saja, langkah pertama yang harus dilakukan adalah... jangan sampai ketahuan Ochi, langkah kedua adalah... ikatlah surat itu dengan sehelai rambut saya ini, setelah itu bawa surat tersebut kepada saya. Jelas kan?" "Hmm, ya jelas sih. Tapi... kenapa harus diikat dengan sehelai rambutmu?" "Supaya dia nggak melarikan diri lagi kalau berdekatan dengan saya." "Berarti surat setan itu akan muncul lagi?!" bisik Erson cemas sekali. "Belum tahu, Bang. Yang jelas, jejak gaibnya sudah nggak ada di sekitar sini, sehingga sulit saya lacak. Kemungkinan buruknya adalah, surat itu muncul lagi setelah dia tahu saya tidak ada di sini. Makanya, saya sarankan seperti tadi. Ikat dengan sehelai rambut saya, lalu bawa surat itu pada saya. Biar saya yang buka dan baca isi surat itu." Di dalam mobil Sandhi bertanya pada Kumala, "Kenapa kamu mau baca isi surat itu? Apa nggak berbahaya?" "Aku ingin tahu seberapa besar kekuatan gaib yang ada dalam surat tersebut. Mudah-mudahan pengirimnya juga bisa dikenali dari jenis energi yang terpancar dari kata-kata di dalamnya." "Apakah ada hubungannya dengan barisan cahaya merah yang lewat di depan rumah kita semalam?" tiba-tiba Sandhi teringat pemandangan aneh yang saat itu dilihatnya bersama Pak Maman. "Energi gaib yang tadi merasuki jiwa Ochi memiliki getaran seperti arus listrik. Bersifat menghisap dan menyengat. Sedangkan, energi gaib yang kurasakan Tadi malam agak berbeda, meskipun ada sedikit kesamaannya. Energi yang kurasakan tadi malam mempunyai daya hisap, tapi hawa panasnya tidak terlalu menyengat. Hanya saja, hawa panas itu seperti mengandung serpihan kaca. Udaranya jadi tajam." "Dapat merobek kulit, maksudmu begitu?" "Hmmm, yaah... kira-kira begitu gambarannya. Tapi tentunya bukan kulit luar seperti lengan kita ini. Yang dapat dirobek adalah kulit lapisan indera keenam, kulit batin seseorang yang memiliki kekuatan gaib,dan bersifat menyedot energi gaib yang bersumber pada inti batin seseorang." "Semacam yang dimiliki seorang paranormal pada umumnya, begitu?" Kumala Dewi tidak menjawab. Duduknya yang semula bersandar sedikir merebah kini tersentak tegak. Dahinya sedikit berkerut. "Ada apa?" tanya Sandhiclengan nada euriga. "Buron.. ,," jawabnya lirih sekali. "Semalam aku menyuruh Buron mengikuti barisan cahaya merah itu, lalu... lalu sampai sekarang dia belum pulang. Harusnya dia sudah kembali." Sandhi ikut terbungkam. Hatinya mulai berdebar cemas. Sesaat kemudian ia bertanya dengan nada serius. "Apakah barisan cahaya mcrah itu bisa menyedot seluruh kesaktian yang dimiliki Buron?" Lagi-lagi gadis cantik yang tubuhnya menyebarkan aroma wangi itu tak menjawab pertanyaan Sandhi. Sepertinya ia sibuk dengan analisa batinnya yang tak terucap lewat kata. Sandhi sengaja tidak mendesak dengan pertanyaan yang sama. Ia bersikap menunggu sampai ada reaksi berikutnya. Dan, tak lama kemudian suara Kumala Dewi pun terdengar bernada tegas. "Sekarang sudah hampir pukul sembilan. Kamu langsung aja ke kantor. Bilang sama Venny, suruh dia mewakiliku dalam rapat program pagi ini. Mungkin aku baru bisa tiba di kantor menjelang makan siang." Sandhi menyempatkan berpaling menatap Kumala dengan ekspresi wajah heran. Ekspresi itu mewakili sebuah pertanyaan yang segera dijawab oleh Kumala dengan nada rendah. "Aku akan mencari Buron di alam sana." "Apakah dia dalam bahaya?" "Nggak tahu-lah; tapi yang jelas... sinyal gaibnya nggak bisa tertangkap oleh radar gaibku." "Sinyal gaibnya hilang?" "Mudah-mudahan aku bisa melacaknya di sana. Siapa tahu dengan menemukan sinyal gaibnya, aku bisa menemukan pelaku teror maut itu. Aku ingin segera hentikan aksi teror surat setan itu, San. Kasihan umat manusia kalau harus mati dalam keadaan setragis itu." Sandhi dapat memahami kecemasan Dewi Ular saat itu. Selama getaran energi kesaktian Buron masih bisa tertangkap oleh radar gaibnya, Kumala tidak akan merasa was-was atau curiga. Tapi jika radar gaibnya tak dapat menangkap gelombang energi saktinya Buron, Kumala akan selalu gelisah dan harus segera bertindak. Gadis itu tidak ingin 'orangnya' dalam bahaya tanpa terdeteksi jejak gaibnya. Maka, setelah menyampaikan pesan untuk urusan kantor, Kumala Dewi tahu-tahu berubah menjadi seberkas cahaya hijau. Claaap...! Cahaya hijau itu berbentuk seperti seekor naga kecil. Dalam sekejap saja cahaya itu lenyap. Menembus atap mobil tanpa getaran dan suara. Sandhi yakin, dalam hitungan kurang dari 10 detik, Dewi Ular pasti sudah berada di alam lain. Yaitu, alam yang bukan dihuni oleh manusia, dan yang lazimnya disebut alam gaib. Apa yang dialami Kumala di sana, dan ada apa dengan Buron sebenarnya, itu adalah sesuatu yang sulit diduga-duga oleh logikanya. 0o-dwkz-234-o0 5 Gumpalan kabut hitam membentang di permukaan tanah berlumut basah. Lumut yang menutupi hampir seluruh tanah di situ berwarna kuning. Bukan berwarna hijau selayaknya lumut yang ada di alam kehidupan manusia. Selain berwarna kuning juga mengandung lendir yang cukup licin udara yang terhirup saat itu berbau amis, mirip bau kepala udang. Dewi Ular tiba di alam yang sunyi dan beraroma tak sedap itu. Ia sudah bukan berbentuk cahaya hijau lagi, namun berwujud seperti gadis penghuni bumi. Pakaiannya sama dengan yang ia kenakan sewaktu pergi ke rumah Erson, yaitu celana kulot ketat berwarna hijau tua, dan blus ketat berwarna hijau daun muda dengan hiasan renda di tepian lehemya. "Aku merasakan getaran aneh di sekitar sini," pikir Kumala sambil menggulung rambutnya yang panjang. Kumala Dewi berdiri dengan kaki mengambang di udara. Tidak menyentuh permukaan tanah berlumut kuning itu. Ia menggunakan kesaktiannya untuk dapat berjalan dan berdiri di udara. Kini, kedua tangannya direntangkan ke depan. Telapak tangan sengaja ditegakkan. Kemudian hati kecilnya berkata penuh keyakinan. "Ada sesuatu di balik gumpalan kabut hitam itu. Hmmm, energi gaib yang cukup besar. Tapi sepertinya bukan energi dari kesaktiannya Buron?!" Meski pun kedua kakinya melayang, namun Kumala tetap bcrgerak seperti berjalan di atas permukaan yang padat. Ia mendekati gumpalan kabut hitam yang memanjang bagaikan pagar pembatas wilayah. Tiba-tiba dari kedalaman kabut hitam itu berhembus angin kencang. Wuuuussss.. ! Angin itu meluncur deras ke arah Dewi Ular. Begitu cepatnya hembusan angin sampai tubuh Dewi Ular terdorong ke belakang beberapa meter. Kedua tangannya segera merapat di dada dalam posisi bersilang. Dan, seketika itu gerakannya terhenti. Ia menahan dorongan angin dengan kekuatan hawa saktinya. Gulungan rambutnya terlepas, dan rambut panjangnya yang hitam kemilau itu kini terurai beterbangan ke belakang. Suara angin semakin bergemuruh. Kumala memejamkan mata untuk mengerahkan kekuatan maha saktinya. Ia berhasil bertahan meski bebatuan di sekitarnya terlempar akibat hembusan angin dahsyat itu. Anehnya, tidak satu batu pun yang terlempar dapat mengenai tubuhnya. Beberapa batu yang tertuju tepat ke arah dadanya menjadi hancur atau melesat naik, sep«rti takmampu menembus lapisan hawa sakti yang menjadi perisai tubuhnya. Haaap...! Tiba-tiba kedua tangan Dewi Ular rrienyentak ke samping. Dentuman besar menggema. Bleegaaaaar.. ! Hembusan angin dahsyat berhenti seketika. Gema dentuman itupun lenyap dalam sekejap. Kumala Dewi memandang sekelilingnya. Oh, ternyata gumpalan kabut hitam itu masih ada. Tapi sekarang bukan dalam posisi memanjang seperti tadi, melainkan dalam posisi membentuk lingkaran besar. Kumala terkurung oleh gumpalan kabut hitam itu dalam jarak sekitar 50 meter. "Rupanya ada pihak yang sengaja menghadang langkahku?" gumam hati kecil sang Dewi Ular. "Aku jadi ingin tahu siapa sebenarnya yang ada di balikgumpalan kabut hitam itu." Lalu, kedua jari tangan kanannya dikibaskan, seperti melempar sebilah pisau. Maka, dari ujung kedua jari itu melesat sinar hijau berbentuk seperti mata tombak. Claaap...! Weessst...! Sinar hijau itu menghalntam kabut hitam yang ada di depannya. Jegaaarrr...!! Blllooouumm...!! Gumpalan kabut hitam menyala merah serentak. Termasuk yang mengelilingi Kumala. Hanya sekejap, kemudian wama merah lenyap dan kabut itu pun hilang semua. Namun, hilangnya kabut membuat rahasia di baliknya terlihat, sehingga Kumala pun menjadi semakin siaga dan penuh waspada. Matanya tak berkedip sedikit pun memandang sekelilingnya hingga badan ikut berputar pelan-pelan. Kini yang mengurungnya dalam jarak 50 meter bukan gumpalan kabut hitam, melainkan wajah-wajah pucat berjumlah ratusan wajah. Roh-roh wanita dari berbagai bangsa tampak sedang menggeram dan mendesis-desis, bagaikan sekumpulan ular kobra yang kelaparan. "Hmm, mereka pasti roh-roh yang baru tiba di tempat ini," pikir Kumala. "Barangkali mereka korban surat iblis itu. Tapi, kenapa mereka tidak segera bergerak menyerangku ? Sepertinya mereka menunggu perintah menyerang dari majikan mereka. Hmm, di mana majikan mereka?!" Roh-roh itu ternyata tidak memiliki raga. Hanya sebatas bayangan putih yang meliuk-liuk berjubel di atas permukaan tanah berlumut kuning. Namun, meski mereka tak memiliki jasad fisik, Kumala yakin mereka dapat menyentuh benda, dapat memegang, menendang, memukul dan hal-hal lainnya yang biasanya dilakukan oleh rohpemilik raga. Tiba-tiba terdengar suara meraung seperti tangis kematian. "Aaaaaooooowww...!! Aaaauuu uuuuung... nguuuuuuuuung...!!!" Suara itu menggema memenuhi alam tersebut. Dalam sekejap berubah menjadi suara lengkingan tinggi yang menyakitkan gendang telinga. Rasa sakitnya membuat Kumala sempat menggeragap. Terhuyung- huyung. Memegangi kepala yang berdenyut kuat dan menyakitkan. "Aauhh, suara apa ini?! Ya, ampuuun... semua yang ada dalam kepalaku seperti dihujam dengan ratusan pisau belati?!" Kedua mata terpejam kuat-kuat. Kumala terpaksa mengerahkan kekuatannya dari dalam untuk menutupi gendang telinganya. Sesuatu yang sejuk mengalir ke sekujur. tubuhnya. Memenuhi bagian kepala. Rasa sakitnyapun hilang. Ia membuka matanya kembali. Sedikit heran. Bingung. Clingak-clinguk sebentar, sarnbil menggumam dalam hatinya. "Dimana aku ini?" Sekejap kemudian ia menghembuskan napas lega. "Oo, ya,.. aku ingat...!" Lalu, perhatiannya tertuju pada wajah-wajah tadi yang mengurung dirinya, karena saat itu segera terdengar suara roh-roh putih itu serempak meraung dengan tangan mereka terangkat ke atas. "Haaaaauuuwwgggrrr...'.!!" Roh-roh itu bergerak maju secara serempak dari berbagai penjuru. Suaranya yang meraung gaduh makin membuat telinga Kumala pengang. Namun suara itu diabaikan, karena serangan berbagai penjuru tampak lebih berbahaya. Gerakan serempak itu menghadirkan angin kencang. Angin itu seperti bendapadat yang makin menekan tubuh Kumala: Wwuuugggss...!! Kumala memutar badannya dengan capat. Wuuut...! Putaran kencang itu memancarkan cahaya hijau kebirubiruan. Zlaaaap...! Cahaya tersebut memancar ke berbagai penjuru, seakan Dewi Ular berada di tengah piringan cahaya. Dan, ketika cahaya itu menghantam semua musuhnya, maka terdengarlah jeritan histeris bersahutan yang amat memilukan. Blaar, blaar, blaar, jegaaaarr...!! "Aaaaaaaaaakkhh ....!!! Hancur sudah roh-roh itu dalam bentuk serpihan asap putih. Menyebar ke berbagai penjuru. Membuat tempat itu menjadi semakin amis dan bercampur aroma busuk menyengat. Lalu, muncul seberkas cahaya dari arah depan Dewi Ular. Cahaya itu berwarna merah seperti meteor berukuranbesar, Dewi Ular diam sesaat menunggu jarak cahaya itu lebih dekat lagi. Begitu dalam jarak yang relatif dekat, Dewi Ular melepaskan pukulan saktinya berbentuk bola api warna hijau terang. Wuuussst...! Dua cahaya itu bertabrakan. Wuuubb...! "Hah...?!" tersentak hati Dewi Ular melihat cahaya hijaunya lolos bagaikan tak membentur sinar apapun. Tak ada ledakan, tak ada getaran. Pukulannya seperti mengenai tempat kosong. Tapi cahaya merah itu semakin dekat ke arahnya. Sekali lagi ia melepaskan pukulan saktinya. Wuuust...! Kedua cahaya bertabrakan lagi. Wuubb...! Tetap seperti tadi. Tak teijadi dentuman apapun. Tiba-tiba cahaya merah itu lenyap. Zaab..,! Kumala bingung sesaat Tapi tiba-tiba punggungnya terasa didekati hawa panas. Kumala segera berbalik, namun terlambat. Ternyata cahaya merah itu datang dari arah belakangnya dan kini menghantam punggungnya. Bluuummm...!! "Aaahkk...!!" Dewi Ular terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya terlempar sangat jauh. Terbanting bertubi-tubi seperti bola karet dilempar dari tempat yang tinggi. Berikutnya tubuh itu meluncur di tanah yang licin olch lumut kuning, sruuusssuuut...! Beeegh...! Berhenti membentur batu. "Aahkkkk.. !!" Dewi Ular berusaha untuk bangkit.Namun, tak semudah yang diduga. Sekujur tulangnya seperti remuk semua. Kulitnya pun terasa sangat perih. Daging bagian dalam tubuhnya seperti terbakar semua, dari kepala sampai kaki. Rasa sakit yang luar biasa ia derita pada saat ia berhasil memaksakan diri untuk bangkit, dan hanya bisa sampai pada posisi duduk bersimpuh. Napasnya pun tersengal- sengal, karena jalur napasnya seperti tersumbat sesuatu yang menggumpal. "Uuuhk...! Aku terkeeoh. Bodohnya aku ini," keluh hati Dewi Ular sambil menahan sakit. "Rupanya bukan hanya satu lawan yang kuhadapi. Yang satu mengecohku dengan serangan dari depan, tapi yang satu lagi menyerangku telakTiraikasih Website http://kangzusi.com/ telak dari belakang. Ouuhhg...! Kekuatannya sungguh besar. Sangat berbahaya jika kuhadapi dengan separoh kesaktianku." Dewi Ular berusaha bangkit dengan kewaspadaan lebih tinggi lagi. Ketika ia berdiri, kaki kirinya seperti tidak bertenaga lagi. Ia terkulai dan jatuh terduduk dalam hempasan yang menyedihkan. Bluuk...! "Celaka ini...!" geram hatinya dengan cemas. Ia segera menahan napasnya. Tangannya melakukan gerakan kecil di depan dada. Gerakan itu merupakan gerakan penghimpun energi kesaktian yang tersisa. Semua energi dikerahkan agar dapat mengalir dengan cepat ke sekujur tubuh. Dengan begitu titiktitik kerapuhannya terobati dalam sekejap. Kekuatannya pulih dengan cepat, meskipun tidak maksimal. Tidak sekuat sebelumnya. Namun hal itu sudah cukup untuk bisa membuatnyasegera berdiri dalam satu hentakan tenaga inti. Wuuut...! Jlegg...! Kedua kakinya tegak berdiri, kokoh berpijak di tanah berlumut kuningyang licin. Suubbt...! Hawa lain disalurkan di kaki, membuat kedua kakinya naik satu jengkal dari permukaan tanah. Udara yang dipijaknya bagaikan sepadat batu, sehingga ia dapat bergcrak dengan leluasa. "Di mana lawanku sebenamya?!" pikir sang Dewi Ular. Ia tak berhasil mendeteksi getarart gelombang gaib milik lawannya. Belum sempat Dewi Ular mencoba kembali melakukan pelacakan posisi lawan, tiba-tiba dari arah samping kirinya muncul s inar merah seperti tadi. Sinar itu bergerak lebih cepat dan lebih besar. Dewi Ular segera kerahkan kesakitan pukulannya berupa cahaya hijau seperti gumpalan kabut yang keluar dari-telapak tangan kanannya. Wuussst...! "Kali ini aku tak akan meleset!" tegasnya dalam hati. Tapi temyata pukulan saktinya itu seperti menerjang udara kosong, padahal tampak jelas bertabrakan dengan cahaya merah. Melihat kenyataan itu, Kumala ingat kembali pada peristiwa yang baru saja terjadi. Cahaya merah itu lenyap seketika. Maka, secepatnya Kumala berbalik ke belakang. Ia yakin ada serangan dari arah belakangnya, karena tadi pun demikian. Wuuut...! Oh, sayang sekali dia terlambat. Cahaya merah besar saat itu sedang bergerak cepat ke arah punggungnya. Ketika ia berbalik, cahaya itu sudah berada kurang dari satu jangkauan. Kumala terkejut, menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya. Cahaya merah itu menerjangnya tanpa ampun lagi. Zlaaaap, bleeegarr...! "Uugghh...!" Dewi Ular mengalami hal serupa tadi. Terhempas, terbanting, dan terpuruk dengan sekujur badannya terasa seperti remuk. Lebih remuk dari keadaan yang dideritanya tadi. Untuk mengerang pun sulit. Tak sempat keluar suara dari mulutnya. Ia merayap dan bersandar di bawah batu besar. Seluruh kekuatannya seperti telah dilumpuhkan dalam waktu sekejap. Pandangan matanya sempat buram sesaat. Namun, sebentar kemudian ia berhasil menetralisir kelemahan pandangnya. Hanya kelemahan lainnya yang belum dapat dinetralisir dengan cepat. "Oohh, Dewaaa...," keluhnya dalam hati. "Rupanya kali ini aku berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Nggak bisa kuanggap enteng mereka itu. Serangannya menggunakan energi pelumpuh gaib yang sangat berbahaya. Aku bisa kehabisan kekuatan hawa saktiku jika berkali-kali terkena serangannya. Ouhhk...!! Sakit sekali punggung dan rusukku..." Jari-jari lentik mulai merayap diperut berkulit putih halus. Namun, saat ini kulit perut Kumala berwama biru legam. Ia tak melihatnya karena tak sempat melirik ke arah perut. Jarijari itu mulai mendekati pusar di perutnya. Ibu jari yang kanan merapat di puser dan menekannya sedikit. Dewi Ular terpaksa mengambil kekuatan energi saktinya yang tersimpan di pusar. Kesaktian itu adalah kesaktian cadangan, yang digunakan hanya dalam keadaan sangat kritis, seperti saat ini. Zzzzzzztt...! Getaran lcmbut mengalir ke sekujur tubuh Kumala: Getaran itu adalah hawasakti cadangan yang disalurkan melalui pembuluh darali untuk mengobati bagianbagian yang terluka, sekaligus untuk mengjsi pos- pos penyimpanan hawa saktinya yang terkuras habis akibat serangan lawan. "Ya, ampuun... kenapa aku jadi sebodoh ini sih?" keluh batin Kumala. "Mestinya tadi kulawan dengan Aji Wisnu Guntur, atau mengerahkan Aji Cakra Salju, atau... ooh, benarbenar bodoh aku. Kenapa aku nggak gunakan Pedang Equador?! Ya, pedang itu dapat untuk melumpuhkan kekuatan mereka. Duuuh, kenapa aku jadi sebodoh ini sih?! Adaapadengan diriku?! Ooh.. sungguh memalukan! Menyebalkan sekali diriku kali ini!" Pedang Equador adalah pusaka tua yang dikenal sebagai pusaka mahasakti. Dewi Ular berhasilmendapatkan pusaka dahsyat itu dari alam gaib yang adadi dasar samudera. Dengan menepuk dadanya satu kali, pedang itu akan muncul dari dalam dada dan dapat dicabut dengan mudah tanpa rasa sakit. Kisah pedang mahasakti itu sendiri telah membawa Dewi Ular ke tingkat kesaktian yang lebih tinggi, (Baca serial Dewi Ular dalam episode; "TUMBAL PUSAKA TUA"). Tetapi entah mengapa hal itu sampai tak terpikirkan oleh Dewi Ular. Entah mengapa gagasan tersebut datangnya terlambat, yaitu di saat kekuatannya nyaris tersita habis. Penyesalan dan kekecewaan hati telah membuat Kumala tertegun lesu. Sedih dan malu pada diri sendiri. Inisiatifnya jadi semakin lamban. Mestinya sekarang juga Kumala harus mcngambil tindakan tegas; cabut pusaka Pedang Equador, atau cukup mcngerahkan kesaktian cadangannya? "Ya, sebaiknya...." Ketuputusan yang mau diambilnya itu kalah cepat dengan datangnya cahaya merah seperti meteor besar. Craaallpp...! Kecepatan cahaya merah itu menyamai kecepatan petir. Dewi Ular menggeragap bingung, seperti anak kemarin sore yang panik menghadapi bahaya. Semua gerakkan dan refleksnya serba terlambat. Hanya satu yang tidak terlambat pada saat kritis seperti itu, yakni munculnya sinar ungu berbintik-bintik kuning keemasan. Sinar ungu itu datang dari arah sisi kanannya Kumala Dewi. Zlaaaap...! Langsung menghantam lengan Kumala. Debbs.. .zlaaab...! Lenyap sudah Dewi Ular dari tempatnya dalam waktu yang sangat cepat. Rupanya sinar ungu itu bukan menghantam Dewi Ular, melainkan menyambar dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu. Dentuman besar menggema mengguncangkan alam inistis beraroma amis. Dapat dipastikan, dentuman itu disebabkan oleh hantaman cahaya merah pada sebongkah batu besar yang tadi digunakan bersandar Dewi Ular. Andai tak ada sinar ungu berbintik keemasan menyambar Dewi Ular, rnaka pada saat ini putri tunggal Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu sudah hancur tak tersisa debu lagi. Beruntung sekali saat itu sang pcnyelamat datang tepat pada waktunya, schingga ketika dentuman besar itu menggelegar rnenggetarkan alam sekitarnya, sang Dewi Ular sudah berada jauli dari jangkauan maut lawannya. Gadis cantik jelita itu berbaring di rerumputan kuning, namun tidak berlendir dan tidak beraroma amis. Ia seperti bayi tak berdaya. Hanya berkedip-kedip matanya tanpa mampu bcrbuat apapun. Rupanya Kumala Dewi mengalami masa shock setelah menyadari, bahwa dirinya berhasil lolos dari ancamart maut yang tadi sangat tidak mungkin untuk dihindari. "Ooh, aku selamat. Yaa, masih selamat. Padahal aku tadi sudah tidak punya harapan lagi untuk dapat lolos dari cahaya merah itu. Ternyata... aku masih bisa lolos, dan... ooh, siapa penolongku tadi? Mana dia...? Mana. ?!" Ia bergegas bangun dari posisi baringnya. Matanya memandang ke arah depan, lalu samping, dan berhenti di sana dengan dahi sedikit berkerut serta mata mengecil. Ada sesuatu yang memancing benaknya untuk mengingat. Ada sesuatu yang membuat ingatannya mencoba mengenali kembali sosok pemuda berbaju tak berlengan wania ungu dengan sabuk lempengan emas berukir. "Kau....? Kauuu... siapa, ya?".gumamnya dengan suara sangat lirih. Tak didengar oleh pemuda gagah bercambang tipis dan berambut panjang sebahu. Rambut hitamnya itu diikat menggunakan ikat kepala dari logam emas yang dililitkan. Ikat kepala tersebut memiliki hiasan berbentuk mata yang terbuat dari batu warna ungu, dan lelaknya tepat di tengah kening. » "Salam honnatku untukmu, Dewi Jelita..." Pemuda itu bcrlutut dan membungkuk penuh hormat. "Aku seperti pernah mengenali suaramu yang enak didengar itu." "Kita memang pemah bertemu, Dewi Jelita." "Ya, pernah kan? Tapi kapan ya? Duuh, aku lupa..." "Aku sangat memaklumi kalau kau lupa padaku, Dewi Jelita. Mungkin juga kau akan lupa banyak hal. Ingatanmu pasti telah dirusak oleh suara jeritan iblis yang tadi kudengar dari kejauhan sana." "Jeritan iblis...?! Apakah tadi aku mendengamya?! Jeritan yang mana maksudmu?! Eh, tapi ntar dulu , ntar dulu...," Kumala mendekat dalam keadaan keduanya sama-sama masih berlutut di rumput. "Jangan dulu bertanya tentang yang lain. Aku harus mengenali dirimu lebih dulu. Hmmm, siapa kamu ini,ya?" Kumala Dewi menatapnya dengan cermat. Dari kepala ke bawah, kembali ke kepala, semua dipandangi dengan dahi masih berkerut tajam. Ingatannya belum bisa kembali mengenali pemuda tampan berwajah damai itu. Ia mendesah jengkel. Sementara yang, dipandangi jadi salah tingkah. "Maaf, apa boleh aku membantumu lagi untuk pulihkan ingatanmu, Dewi Jelita?" "Hmmmm... boleh, boleh...! Caranya bagaimana? Sebutkan namamu? Ceritakan masa perkenalan kita? Atau..." "Itu tidak cukup, Dewi Jelita. Karena,... ingatanmu, kecerdasanmu, daya pikirmu dan hawa sakti dalam otakmu, tadi telah dirusak oleh suara jeritan iblis yang kau dengar dalam jarak cukup dekat. Getaran gelombang suara itu bertujuan mengacaukan ingatanmu dan melemahkan kecerdasan otakmu, Dewi Jelita. Cara memulihkannya tidak cukup dengan menceritakan masa lalu kita atau menyebutkan sejuta nama:" "Jadi, bagaimana dong cara memulihkan ingatanku? Kamu bisa?" Pemuda yang memiliki senyum selalu ramah dan penuh persahabatan itu mengangguk kalem. Tak ada kesan sombong sedikit pun. "Mudah-mudahan aku bisa membantumu, Dewi Jelita. Tapi, sekali lagi aku mohon maaf sebelumnya, karena aku harus memegang kepalamu untuk melumpuhkan racun gelombang suara yang sekarang sedang menggerogoti otakmu, Dewi Jelita. Kedua tanganku harus menempel di kepalamu. Jika kau mengizinkan akan kulakukan, jika tidak kau izinkan aku tak akan memaksa." "Kepalaku... dipegang kedua tanganmu...?" "Maaf, aku tidak bermaksud tak sopan padamu, Dewi Jelita." "Kenapa harus minta maaf terus sih? Kalau mau pegang kepalaku, ya pegang sajalah. Cuma memegang aja kan ? Nggak dijedot-jedotin kan?!" Sang penolong tersenyum geli seraya menggeleng dengan pasti. Kumala tampak lucu. Kharisma dan wibawanya berkurang drastis akibat gangguan pada otak dan daya ingatnya. Rupanya suara lengkingan tinggi yang didengarnya sebelum ia diserang roh-roh yang mengepungnya tadi, adalah suara yang mengandung racun perusak saraf, terutama saraf pada otak dan saraf pada organ vital lainnya. Racun dalam jeritan iblis itu, konon, bukan hanya akan membuat lupa ingatan serta lamban berpikir, tapi juga akan membuat mangsanya bodoh, linglung, dan akhirnya gila. Dalam keadaan seperti itu, siapa pun akan mudah dihancurkan oleh si pemilik racun jeritan iblis. Agaknya pemuda berpenampilan macho namun penuh kesopanan itu tahu persis bagainiana cara melumpuhkan racun jeritan iblis. Tidak semua hawa murni dapat untuk melumpuhkan racun tersebut. Selain menyalurkan hawa murninya lewat telapak tangan yang meremas kepala Dewi Ular, pemuda itu juga mengerahkan energi lain yang diambil dari gelombang suaranya sendiri. Oleh sebab itu, ia melakukan terapi penyembuhan dengan diiringi suaranya yang bersenandung, pelan khidmat dan mendayu-dayu. "Merdu sekali suaramu," kata Kumala pelan. Tersenyum geli karena belum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya. Pemuda itu tidak menghiraukan kata-kata Kumala, namun tetap melakukan terapi dengan sebagaimana mestinya. "Waah,. suaramu benar-benar empuk dan enak diderigar. Kamu ikut AFI aja, pasti menang. Atau nanti kalau aku mengadakan Kahyangan Idol, kamu ikut, ya? Kamu pasti nggak akan sampai tereliminasi deh. Bener!" Seandainya pemuda itu sering nonton teve tayangan dari Jakarta, mungkin dia akan tertawa geli mendengar kata-kata Kumala itu. Tapi karena pemuda itu tak pernah sempat menyaksikan acara teve, maka ia sama sekali tidak tertawa, namun juga tidak ada kesan dongkol sedikit pun dari raut wajahnya. Wajah itu tetap memancarkan keramahan dan persahabatan, meskipun kedua matanya dalam keadaan terpejam. Kepalanya melenggak-lenggok dengan mulut ternganga sedikit mengeluarkan suara senandurtg yang memang tergolong merdu itu. Setelah beberapa saat kemudian, terapi pengobatan aneh itu pun selesai. Perubahan pertama-tama yang dialami Dewi Ular adalah berhenti berceloteh, berhenti bercanda dan ikut menyalurkan hawa murninya dari pusar agar mengalir ke seluruh tubuh secara teratur. Tindakan itu membuat tubuhnya yang tadi belum benar-benar sehat, kini mulai terasa segar dengan kekuatan mulai pulih kembali. Bahkan rasa nyeri dari sisa memar dan luka dalamnya ikut hilang sama sekali. "Kurasa sudah cukup. Racun itu sudah kulumpuhkan, Dewi Jelita." Pada saat itu Kumala Dewi segera berpaling dan menatap sang penolongnya. Masih ada sisa ingatannya tentang pertarungan tadi dan mengenai tindakan sang penolong yang di luar dugaan. "Hey, sekarang aku ingat, kamu Scorpio, kan?!" Senyum menawan dari seorang pemuda tersungging lebar dan memancarkan keindahan yang berkesan. "Syukurlah kalau kau sudah ingat siapa diriku, Dewi Jelita" "Ya, ya... tadi sulit sekali aku mengingat siapa dirimu. Tapi sekarang aku ingat semua tentang dirimu, Scorpio." Kumala Dewi tertawa kecil, namun tidak terkesan genit. Justru mulai terpancar kembali kharisma dari kecantikannya sebagai putri tunggal Dewa Permana yang anggun dan mempesona. "Aku ingat kok, namamu sebenarnya bukan Scorpio, melainkan... Zudhan Saka. Iya kan? Karena dulu kamu pernah terkena ilmu sihirnya Panglima Peri sehingga menjadi kalajengking, dan saat itulah kau. bertemu denganku, maka sampai sekarang aku masih suka memanggilmu Scorpio." Zudhan Saka tersipu malu di sela tawa kecilnya. Ia masih ingat ketika bertemu dengan Dewi Ular ia masih berwujud seekor kalajengking. Dengan kesaktiannya Kumala Dewi membebaskan Zudhan Saka dari pengaruh sihir, sehingga dapat kembali dalam rupa aslinya, yaitu sebagai pemuda tampan yang bertugas sebagai mata-mata Kahyangan, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "MISTERI RONA ASMARA"). "Zudhan, aku mengucapkan banyak terima kasih atas..." "Cukup, Dewi Jelita," potong Zudhan. "Jangan lanjutkan ucapanmu. Kau tidak perlu berterima kasih padaku, karena yang kulakukan ini belum ada sekuku hitamnya dibandingkan apa yang telah kau lakukan pada diriku dan pada ibuku." "Tapi, kau telah menyelamatkan nyawaku dari..." 'Hanya satu saran yang ingin kusmpaikan padamu, Dewi Jelita," potongnya lagi dengan cepat, dan kata-kata Dewi Ular terhenti seketika. Mereka saling beradu pandang. Jaraknya hanya setengah jangkauan. "Saran apa?" tanya Kumala lirih dan lembut. "Hindari pertarungan dengannya." Kumala menatap makin lekat. Dahinya berkerut sedikit. Ia ingin bcrtanya, tapi sudali lebih dulu Zudhan yang bicara. "llmu kesaktiannya sangat tinggi. Contohnya, racun jeritan iblis yang tadi ia gunakan untuk mengacaukan pikiranmu. Juga, pukulan Aji Cermin Neraka, yang tadi hampir saja menghancurkan dirimu. Pukulan itu sulit ditandingi atau dihindari, karena gerakannya menggunakan siasat cermin. Sepertinya pukulan itu datang dari arah depanmu, tapi sebenarnya dari arah belakang. Yang terlihat di depanmu adalah pantulan dari. cahaya yang ada di belakangmu. Ia mampu merubah udara dan kelembabannya menjadi sebuah cermin untuk menipu pandangan lawannya. Dan lagi..." "Jadi, lawanku tadi hanya sendirian?"" ”Ya.. Sekarang ini dia sedang mengumpulkan sejumlah roh dan raga manusia, khususnya gadis-gadis yang terlahir sebagai anak sulung..." "Kenapa harus gadis anak sulung?" "Sebab gadis yang ditakdirkan sebagai anak sulung memiliki kekuatan mistis tersendiri yang dapat dimanfaatkan olehnva, yaitu untuk dijadikan barisan pembantai bumi yang akan diberinya nama laskar tanpa darah." " "Tanpa darah.. .?!" gumam lirih Kumala, seperti ada sesuatu yang meneurigakan dan penting digaris bawahi dari kata-kata Zudhan itu. "Tugas berburu roh dan raga tanpa darah itu, diserahkan pada bibinya yang bernama Dayang Mantra. Padahal si Dayang Mantra itu iblis betina yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Tapi ia tunduk pada perintah keponakannya karena kalah sakti dengan sang keponakan. Jadi menurut..." "Tunggu, tunggu...!" kali ini Dewi Ular yang menyambar dan memotong kata-kata Zudhan. Lalu, Kumala bicara dengan nada tegas. "Aku kesini mencari asistenku. Buron. Kamu tahu kan, Buron adalah jelmaandari Jin Layon ? Nah, aku kehilangan jejak gaibnya. Aku khawatir dia dalam bahaya. Maka, aku segera mencarinya." "Ya, aku paham. Sekarang..." "Paham tentang apa maksudmu, Scorpio?!" "Buron kusembunyikan di Goa Guntur." "O, ya.. .? " Kumala sedikit tegang. "Aku tahu dia pengikut setiamu. Ketika kulihat dia dihajar habis-habisan oleh Dayang Mantra, aku segera- mengalihkan perhatian Dayang Mantra dengan menyerukan tantangan dan penghinaan padanya. Dayang Mantra lari ke arah suara tantanganku, yang sebenarnya suara palsu itu, dan pada saat itu kubawa kabur Buron dalam keadaan sekarat." "Sekarat...?! Kalau begitu... hmmm..." Zudhan diam menunggu kata-kata Kumala, sementara itu Kumala ingin mengatakan sesuatu namun dibatalkan. Ia merasa kurang arif jika tak memberi kesempatan Zudhan untuk menuntaskan keterangannya. "Teruskan dulu penjelasanmu. Silakan." "Yaah, selanjutnya Buron kusembunyikan ke dalam Goa Guntur supaya hawa gaibnya tidak terlacak oleh Dayang Mantra. Karena, siapa pun yang masuk kedalam Goa Guntur maka seluruh kesaktiannya terbungkus rapat dan tak dapat dilacak dari luar goa. "Jadi, tempat itu kurasakan sebagai tempat yang aman buat menyembunyikan Buron." "Ooo, pantas radar gaibku nggak bisa melacak gelombang gaibnya. Hmm, terus...?" "Rencanaku tadi, ingin menemui ibu dan memohon bantuan ibuku untuk mengobati luka parahnya Buron. Tapi dalam perjalananku ke Sendang Bunga untuk menemui ibu, tiba-tiba kudengar suara jeritan iblis tadi Aku ingin tahu, siapa yang sedang berurusan dengannya, maka kudekati sumber suara jeritan iblis itu, eeeh.... temyata kau yang bertarung melawannya." "Sebentar jadi..." "Terus terang, jika aku ikut terjun dalam pertarunganmu tadi, maka aku tidak akan mampu membantumu mengalahkan dia, Dewi Jelita. Pertama, karena dia bukan tandinganku." "Ya, ya, sebentar... jadi..." "Kedua, karena dia juga bukan tandinganmu. Menurutku langkah yang paling tepat untuk..." "Scorpio...!" Penuturan Zudhan terhenti seketika, karena nada Kumala agak tinggi. Zudhan takut Kumala jengkel atau bahkan marah padanya karena tak diberi kesempatan bicara. Oleh karena.itu, meskipun merasa terganjal lagi keasyikan bicaranya, Zudhan tetap harus menerima kenyataan itu. "Dari tadi kau belum jelaskan siapa sebenarnya dia? Siapa tadi yang nyaris menghancurkan diriku? Siapa sih yang kau sebut keponakan Dayang Mantra, si pemilik Aji Cermin Neraka, pemilik jeritan iblis dan sebagainya? Siapa, siapa, siapa dia itu sebenarnya?!" Terbengong Zudhan selama empat helaan napas. Lalu, bertanya dengan pelan, sangat hati-hati sekali. "Jadi, kau belum tahu?!" "Katakan, siapa dia?!" "Dia adalah... Athila" "Athila...?!" "Ya, Athila Darapura. Anteknya si Dewa Kegelapan yang terlahir dari selir emasnya, yaitu Auro. Yang berada dalam kandungan ibunya selama sembilan tahun. Bukan sembilan bulan. Anak itulah nanti yang akan turun ke bumi untuk menguasai alam kehidupan manusia, karena ia memiliki kesaktian istimewa. Lebih tinggi dari kesaktian ayahnya sendiri; si Dewa Kegelapan, alias Lokapura. Karena itulah, ia dihormati dan ditakuti oleh para penghuni alam kegelapan. Bahkan bibinya sendiri, si Dayang Mantra, tunduk pada perintahnya..." Zudhan Saka masih terus bicara. Namun perhatian Kumala sudah tidak tertuju pada perkataan Zudhan lagi. Perhatian itu sudah berpindah pada serangkaian kecamuk batinnya yang mengatakan, bahwa cepat atau lambat ia akan berhadapan dengan Athila secara face to face. Musuh utamanya sekarang bukan lagi Dewa Kegelapan, tapi bocah kemarin sore yang ditakuti oleh para penghuni alam kegelapan. "Tadi dia sudah berhasil menghajarku, bahkan hampir saja berhasil membuatku hancur tanpa debu," gumam hati Kumala. "Haruskah aku tetap maju menghadapi kesaktiannya sekarangjuga? Atau mundur sesaat untuk mengatur siasat ? " 0o-dw-kz-234-o0 6 Bel tamu berbunyi setelah suara adzan maghrib dari pesawat teve selesai dikumandangkan. Mak Bariah bergegas menuju ke teras. Ketika melintasi ruang tengah ia melihat pintu kamar Buron dam Sandhi terbuka. Wajah si jelmaan Jin Layon tampak ingin keluar dari kamar itu. "Mau ke mana lu?" tegur Mak Bariah. "Ada tamu tuh." "Iya, gue juga denger. Udah lu nggak usah ke mana-mana. Biar gue aja yang nemuin tuh tamu. Kan lu udah dipesan Non Mala supaya seharian ini istirahal penuh dikasur lu." "Tapi gue udah merasa lebih sehat lagi kok. Kepala gue udah nggak pusing, pandangan mata gue juga udah jelas. Normal kayak biasanya." "Iya, pandangan mata lu mungkin emang udah jelas, tapi muka lu tuh belum jelas," lalu pelayan bagian dapur itu pun bergegas melanjutkan langkah. Buron terpaksa duduk di sofa panjang yang ada di ruang tengah itu. Ia tak jadi ikut ke teras. Sejak dihawa pulang Kumala dari Goa Guntur, ia memang tidakdi izin kan turun dari tempat tidumya. Luka parah yang di alami Buron membuat ia lumpuh total, tanpa tenaga fisik tanpa tenaga gaib. Pengobatan yang dilakukan Zuldhan Saka di sana hanya bersifat sementara. Tapi dengan kekuatan hawa saktinya Dewi Ular kondisi kritis itu dapat terselamatkan. Hawa sakti sang bidadari itu dapat memulihkan tenaga fisik dan inti gaib Buron asalkan diendapkan untuk beberapa saat lebih dulu. Artinya, Buron dilarang menggunakan tenaganya sebelum hawa sakti itu benar-benar bcrfungsi sebagai tenaga fisik dan inti gaib. Pemulihan energi inti gaib itu dapat dilihat dari rona wajah Buron. Apabila wajah Buron masih pucat, berarti energi tersebut belum pulih total. Tapi jika wajah Buron sudah mulai tampak kemerah-merahan, itu tandanya pemulihan tenaga inti gaib telah sempuma. Mak Bariah mendengar penjelasan tersebut dari Kumala. Maka, ia berani menyuruh Buron untuk tetap beristirahat, karena ia melihat wajah Buron belum kemerah-merahan. Masih pucat sedikit. "Met malem..," sapa sang tamu dengan senyum ramah dipaksakan. Mak Bariah membalas dengan senyum keramahan tak dipaksakan. Tapi dalam hatinya ia merasa seperti pernah melihat lelaki berpeci hitam itu. "Kayaknva dia pernah kesini deh," gumam Mak Bariah dalam hati, setelah ia membalas sapaan tadi dengan suara pelan. "Saya Pak Maman, yang tempo hari kemari." "Ooo, saya Mak Bariah, yang udah lama ada di mari." Pintu gerbangdari besi beroda dibuka sedikit. Pak Maman membantu mendorongnva. Cukup jalan buat masuk Pak Maman. "Silakan masuk, Pak." Pak Maman melangkah masuk, namun berhenti setelah hitungan langkah yang ketiga, karena Mak Bariah bertanya padanya. "Bapak mau ketemu Non Kumala, majikan saya?" "Iya. Beliau ada, kan?" "Nggak ada tuh. Pergi dari tadi s iang." "Waduh..,?" Pak Maman mulai kelihatan cemas. Kecemasan itu dari tadi ia sembunyikan cli balik senyum ramahnya. "Kira-kira pulangnya jam berapa, ya Mak?" "Lha kagak tahu saya, Pak. Kalau dia pulang saya kagak pernah nengok jam" kata Mak Bariah dengan logat Betawinya, karena ia sangka Pak Maman orang Betawi asli. Padahal bukan. "Duduk dulu, Pak. Yuk..." "Hmm, begini aja deh, Mak... saya mau titip surat. Surat yang tempo hari ditujukan untuk anak saya, tapi waktu saya bawa kemari ilang. Nah, tadi sore tahu-tahu surat itu saya temukan di saku celaha saya. Maka, saya segera bawa kemari untuk...., untuk anuu..., eehmm.,." Pak Maman merogoh semua sakunya, baik saku celana samping kanan-kiri, saku celana belakang, dan saku kemejanya yang berpotongan Safari itu. Tapi ternyata surat itu tidak ada. Surat itu hilang lagi. Pak Maman sempat mencarinya di luar pagar, di jalanan depan rumah Kumala, tetap ia tidak menemukan surat itu. "Benar-benar hilang surat itu.. " ujarnya sedih dan bingung. Mak Bariah hanya bisa terbengong. Pak Maman gelenggeleng kepala. Heran pada nasibnya. Mengalami keanehan seperti itu sampai dua kali. Mak Bariah segera membawanya ke dalam. Pak Maman dipertemukan dengan Buron yang sedang berbaring di sofa ruang fengah. Mula-mula Pak Maman takut dan merinding melihat Buron. Ia pernah melihat jelas-jelas Buron berubah menjadi sinar kuning di depan matanya Setidaknya hati Pak Maman dapat menyimpulkan bahwa Buron bukan manusia biasa. Oleh karena itu sekujur tubuhnya merinding sewaktu Mak Bariah membawanya bertemu dengan Buron untuk dimintai pendapatnya berkenaan dengan hilangnya surat teisebut. Dengan tenang, tanpa ekspresi berarti, Buron kasih pendapat. "Pulang aja" "Kok pulang?!" sentak Mak Bariah. "Kalau cuma pendapat begitu sih gue juga bisa dari tadi." "Yaah, habis mau diapain lagi? Bapak ini datang kan mau ketemu Kumala untuk nunjukin surat itu. Kalau suratnya ilang, masa bapak ini harus ikut ilang juga? Yang bener, ya pulang. Udah." Pak Maman menarik napas dalam-dalam. "Kayaknya sih... bener juga saran Mas ini, Mak..." "Maapin dia deh, Pak. Dia lagi sakit. Jadi ya gitulah... agak bego." "Eh, Mak...," kata Buron. "Gue kasih tahu, ya Mak... surat setan itu mengandung kekuatan gaib hitam. Gaib iblis. Tapi kekuatan gaib itu nggak bisa nyentuh hawa saktinya Kumala Dewi." "Akan terpental, gitu?" "Pasti terpental. Pengirim surat itu sebenarnya memiliki ilmu yang tinggi. Kalau nggak tinggi, nggak mungkin aku sampai dibuatnya hampir OD, begin!," lanjut Buron dengan kata-kata seenak pcrutnya sendiri. "Tapi kekuatan gaib yang dia taruh di dalam surat setan itu tergolong kecil, sebab hanya ditujukan untuk manusia biasa, seperti kalian!" Pak Maman membatin, "Wah, bener kataku, berarti dia bukan manusia dong. Siluman atau hantu, ya?" "Nah, rumah kita ini kan sudah diberi pagar gaib menggunakan hawa saktinya Kumala, jadi surat itu akan mental entah ke mana kalau dibawa mendekat ke mari. Jangankan sampai masuk ke sini, mendekati pagar depan aja sudah kabur!" "Oooo..." Pak Maman menggumam pelan dan manggutmanggut. Lalu, suara Pak Maman terdengar berkata pelan pada Mak Bariah. "Surat itu memang kabur, Mak. Tapi dia pasti akan muncul lagi dan mengincar anak saya, si Rimma itu. Seperti yang terjadi tadi sore. Untung surat itu saya temukan sebelum anak saya pulang dari les. Nah, supaya surat setan itu nggak muncul lagi, gimana ya?" "Itu urusan Kumala," sahut Buron scmakin berlagak cuek. Matanya tertuju ke layar teve. Tangannya memainkan tombol remote control. Ya, itu memang urusan kumala. Buron berkata begitu bukan karena dia tidak mau peduli lagi dengan PR-nya Kumala, tapi karena ia sudah dilarang keras oleh sang dewi untuk tidak melibatkan diri dengan urusan-urusan mistik. Kumala telah memberikan hak cuti gaib pada Buron. Meski pun Buron agak dongkol, namun ia bisa menerima ketentuan itu, mengingat kesehatan gaibnya belum pulih betul. Oleh karenanya, petang itu Kumala hanya membawa Sandhi sewaktu harus segera menuju ke rumah Erson, kakaknya Niko alias papanya Ochi. Saat itu, malam sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Hampir pukul sembilan. Kumala mendapat kabar melalui HP-nya bahwa mamanya Ochi baru saja menemukan surat setan yang waktu itu hilang dari saku dasternya. Konon, surat setan itu tahu-tahu sudah berada di dalam saku daster itu juga pada saat daster tersebut mau dikenakan mamanya Ochi. "'Jauhkan surat dari Ochi, dan ikat surat dengan sehelai rambut pemberian saya kemarin itu, Bang," pesan Kumala Dewi kepada Erson. "Mengapa harus diikat dengan rambutmu?" tanya Sandhi setelah mendengar pembicaraan via telepon itu. Katanya lagi, "Apa nggak malah kabur surat itu. Bukankah surat itu akan lenyap kalau merasakan ada getaran hawa saktimu?" "Rambutku memang memiliki energi gaib. Tapi energi itu bersifat menjerat.Tipis, tak terasa kehadirannya, tahu-tahu menjerat energi lawan." "Ooo, gitu...?" Sandhi manggut-manggut kecil. "Mudah-mudahan saja dengan menjerat surat setan itu kita dapat melumpuhkan kekuatan gaibnya lewat surat tersebut." "Apakah bisa terlumpuhkan sampai ke pusatnya?" "Akan kucoba nanti. Paling nggak bisa memancing pemilik gaib iblis itu muncul menemuiku." "Pemilik gaib itu sudah pasti si pengirim surat, ya?" "Ya. Dayang Mantra namanya." "Lho, seingatku papanya Ochi pemah bilang kalau pengirimnya atas nama Lexian? Bukan... siapa tadi...?" "Informasi yang kudapat dari Zudhan Saka, Dayang Mantra dulunya adalah makhluk seperti manusia yang tinggal di suatu planet, entah apa namanya, aku lupa. Yang jelas bukan bumi. Di sana tingkat peradaban dan intelegensinya lebih tinggi dibandingkan di bumi ini." Sandhi menggumam pelan. Menyimak betul tiap kata yang diucapkan Kumala. Lalu, Kumala pun berkata lagi. "Tetapi, planet itu ternyata dikuasai oleh kekuatan hitam. Ketika tingkat peradaban dan intelegensi berkembang pesat dan semakin tinggi, mereka menentang kekuatan hitam. Kemudian seluruh penghuni planet itu terkena kutukan gaib dan jadilah mereka keluarga iblis berilmu tinggi. Sebelum kutukan hitam itu menimpanya, Dayang Mantra bernama Lexian." "Zudhan Saka memang mata-mata yang hebat. Semua informasi ia miliki. Gila! Nggak rugi Kahyangan punya matamata rnacam dia." Dewi Ular diam. Sengaja tidak memberi komentar. Ada sesuatu yang lebih penting ia pikirkan secara serius pada saat itu. Bungkamnya rnulut Kumala membuat Sandhi melirik dengan curiga. "Ada apa?" "Belok kiri." Sandhi ikuti perintah itu. Tapi ia semakin terheran- herari. "Ini bukan jalan menuju rumah Bang Erson." Kumala diam saja. Sandhi sendiri menjalankan mobil sebagaimana mestinya. Sebelum ada perintah belok ia tetap mengarahkan mobil lurus terus sesuai jalur jalan. Ia biarkan Kumala memandu arah perjalanan mereka, karena ia yakin pasti ada sesuatu yang ingin dicapai Kumala Dewi. "Ambil arah kiri." "Pelabuhan?" "Ya, aku merasakan energi gaib besar sedang bergolak. Aku curiga energi itu milik penghuni alam sana. Panas dan tajam seperti silet," Tak lama setelah Kumala berkata begitu, terdengar suara dentuman samar-samar. Bleeeeng...! Dentuman itu tak jelas di telinga Sandhi karena semua kaca mobil dalam keadaan tertutup rapat. Tapi di telinga Dewi Ular suara itu sangat jelas dan cukup mengejutkan. Ia segera perintahkan Sandhi untuk melacak suara dentuman itu sesuai dengan indera keenamnya. Mereka tiba di sebuah gudang tua, tak jauh dari pelabuhan: Di sana sudah banyak orang berkerumun, tapi tak berani mendekati gudang besar yang atapnya sudah rusak dan berkarat. Mereka hanya bisa menyaksikan adegan mengerikan. Seorang wanita muda sedang dihajar oleh sosok hitam berambut panjang dan bermata merah seperti api. Adegan itu terjadi di samping gudang, karena tempat tersebut bertanah kosong tak berumput. Sandhi dan Kumala turun dari mobil. Seseorang berceloteh tak jauh dari Sandhi dan Kumala. Orang tersebut berceloteh kepada temannya, sesama perempuan juga. "... pokoknya yang dapat surat aneh itu anaknya Bu Amin, si Wiwin. Nah, jadi yang mati tanpa raga lagi cuma darah doang di kamarnya, ya si Wiwin itu. Terus, gadis cantik yang dihajar di sana itu datang. Denger-denger dia paranormal atau dukun, gak jelas. Pokoknya, gadis itu punya ilmu yang bisa mengundang si pengirim surat. Nah, waktu si pcngirim surat itu datang, tampangnya menyeramkan. Semua orang bubar. Gadis itu dihajar, dilempar-lemparkan, sampai akhimya terpental di gudang itu...!" "Aku mengenali dia, San," bisik Kumala dengan mata memandang ke arah pertarungan tak seimbang itu. "Ya, aku juga kayaknya kenal... Audy, kan?" "Ya. Kurasa sosok hitam lawannya itu adalah si Dayang Mantra. Aku harus segera turun tangan. Audy nggak dapat menandingi kesaktian Dayang Mantra. Kau tunggu sini!" Zlaaap...! Kumala Dewi menerobos kerumunan massa. Gerakkannya seperti kabut. Menembus sctiap badan orang yang diterjangnya. Dalam waktu singkat ia sudah berada di samping gudang tua. Pada waktu itu Audy ingin mengerahkan kesaktiannya dengan mcndatangkan ribuan kupu-kupu beracun. Tetapi telapak tangannya lebih dulu terkena hantaman cahaya merah api yang keluar dari mata Dayang Mantra. Zuuub...! "Aaahhk...!!" Audy terpekik, terpental, jatuh terkapar kembali. Telapak tangannya bolong dan hangus. Semestinya ia dapat merubah diri menjadi sosok yang sebenarnya, tinggi, besar dan menyeramkan. Tapi karena di sekitar penonton ada Afen, maka niatnya dibatalkan. Ia tak ingin Afen melihat sosok dirinya yang asli. "Sudah waktunya kubinasakan dirimu, Kembangdara!!" geram Dayang Mantra yang agaknya sudah lama mengenali diri Audy sebagai mantan pengawal Istana Hitam yang bernama Nyimas Kembangdara. Dalam keadaan babak belur dan nyaris tak berdaya lagi, Audy harus menghadapi cahaya orange yang berbentuk pedang besar. Cahaya itu meluncur lepas dari tangan Dayang Mantra. Tampak seperti pedang yang akan memenggal kepala Audy dari arah kiri. Wuuusst...! Dewi Ular segera melepaskan pukulan hijaunya dari telapak tangan kirinya. Claap...! Cahaya hijau itu membentur cahaya orange, deebb...! "Oooh?! Sinar orange itu tertahan?! Berhenti di udara?!" seru seseorang yang menyaksikan pertarungan tersebut. Dayang Mantra pun terkejut melihat cahaya orange-nya bisa tertahan sinar hijau dan berhenti di udara. Dayang Mantra segera berpaling ke arah si pemilik s inar hijau itu. Lalu, menggeram dengan penuh kemarahan. "Bangsat...!! Kau rupanya, Dewi Ular...?!" "Kumala..., untung kau datang... huuggh...!!" "Menjauhlah, Audy!'' Dayang Mantra menarik sinar orange-nya, sinar itu masuk kembali ke telapak tangannya. Dewi Ular pun demikian. Tapi Dayang Mantra segera melepaskannya kembali ke arah Dewi Ular dalam bentuk sinar merah menyerupai paku raksasa. Woouusss...! Dengan tenang Dewi Ular melepaskan sinar hijau kccil dari ujungjari telunjuknya. Claap...! Sinar hijau itu menembus gumpalan sinar merah hingga membelah menjadi dua bagian kemudian menghantam dada Dayang Mantra. Blegaarrr...!! Sinar orange itu padam. Tapi dada Dayang Mantra terbakar. Tubuh tinggi besar itu pun terpental ke belakang hingga membentur dinding gudang yang terbuat dari seng berkarat. Gubraaang...!! Bangunan tua itu langsung miring dan mau rubuh. Padahal tiang-tiangnya terbuat dari besi. "Ggrrrrrrhh:..!!" Dayang Mantra semakin berang. Ia bangkit secepatnya setelah mampu memadamkan kobaran api di dadanya. Kemudian dengan suara menggema ia melontarkan sebaris mantera andalannya. "Azzomafara mehabhona mahabhozuna ammauda ham..." Zluubb! Belum habis ia mengucapkan manteranya, Dewi Ular sudah melepaskan sinar hijau mirip kelereng yang langsung masuk ke mulutnya. Bluuub...! Dayang Mantra langsung mendelik. Matanya yang berkobar-kobar itu menjadi besar. Mengerikan sekali. Dan, sinar hijaunya Dewi Ular yang tertelan olehnya itu meledak di dalam tenggorokan. Bleeegaaarrr...!! Seketika itu juga tubuh besar itu pecah menjadi serpihan asap merah. Tapi asap putih menyerupai roh muncul dari ledakan itu. Asap putih tersebut melayang di udara dalam bentuk sosok Dayang Mantra yang memekik keras, membangunkan bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya. "Aaaaaaahhhkkkkrrr...!!" Asap putih itu makin lama makin melambung tinggi. "Biadab kau, Dewi Ular...! Kutunggu kau di alamku, aku akan bikin perhitungan denganmu, Keparaaat...!!" "Tidak ada kompromi buat pembantai rnanusia macam kau, Dayang Mantra!" seru Kumala, kemudian melepaskan pukulan bersinar hijau bening menyerupai anak panah yang melesat cepat. Zlaaap...! Sinar itu menembus bayangan putih yang melayang tinggi. Jegaaarrr...! Ledakan dahsyat mengguncangkan alam sekitarnya. Asap putih itu lenyap seketika. Tak terdengar lagi suara Dayang Mantra, yang berarti habis sudah riwayat Dayang Mantra di tangan Dewi Ular. Masyarakat yang menyaksikan kejadian itu bertepuk tangan, seakan mereka merasa lega dan senang sekali melihat iblis betina itu bcrhasil dihancurkan. Mereka berharap tidak akan ada lagi surat setan yang sangat ditakuti oleh para gadis, terutama yang statusnya sebagai anak sulung. Dewi Ular segera mengobati luka parahnya Audy. Selesai itu mereka segera kerumah Eros. Ternyata di sana ada kejadian aneh yang segera dilaporkan oleh Eros kepada Kumala. "Surat itu terbakar dengan sendirinya! Daster istriku juga ikut terbakar, karena surat itu ada di dalamnya." Kumala Dewi tersenyum. "Tapi istri Abang nggak ikut terbakarkan?" "Ya nggak-lah... dasternya kan nggak lagi dipake..." Dewi Ular mengajak mereka tersenyum, berwajah ceria, terutama setelah meyakinkan mereka bahwa surat setan itu tidak akan datang lagi kepada siapa pun, karena pengirirnnya sudah berhasil dilumpuhkan. Di balik suka cita mereka, diam-diam Kumala Dewi menyimpan suatu masalah yang cukup menegangkan, yaitu ia harus berhadapan dengan lawan yang lebih tangguh, yaitu Athila Darapura. Tentunya Athila marah besar setelah tahu bibinya dihancurkan oleh Dewi Ular. Kini tinggal menunggu waktu saja, kapan Kumala harus berhadapan langsung dengan Athila Darapura. SELESAI ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================